Saturday, February 25, 2006

ST. THOMAS MOUNTAIN

Dalam tulisan saya mengenai 'Jiarah salib' dalam disela-sela kesibukan, saya telah menyinggung obyek jiarah yang pada bulan April yang lalu telah diakui secara resmi sebagai 'international shrine' oleh kepausan, yakni St. Thomas Mountain. Beberapa lalu saya mendapat kesempatan untuk mendaki gunung ini dan menikmati keindahan yang ada dipuncak gunung ini bersama dengan para frater yang menjalani retret bersama saya. Sebenarnya sudah beberapa kali saya mengunjungi tempat ini, tetapi saya belum pernah mendaki sampai puncak. Selain saya merasa tidak mampu, tetapi juga belum mempunyai niat. Maka ketika saat retret itulah saya menjadwalkan, bahwa salah satu dari acara retret adalah jiarah, karena rumah retret dimana kami menjalankan retret tidak jauh dari lokasi ini. Saya merencakanan penutupan retret akan kami adakan dipuncak gunung ini. Jam 06.30 pagi kami berangkat dari rumah retret menuju lokasi. Hanya dalam waktu 10 menit kita sudah sampai dilereng gunung ini.
Setelah dibuka dengan doa di patung besar St. Thomas, kami memulai jiarah kami mendaki gunung jiarah yang sangat terkenal di Kerala ini. Setepak demi setapak kami mendaki gunung yang terjal ini. Satu rosario telah selesai, namun kita belum sampai di pemberhatian pertama jalan salib. Nafas saya sudah tersengal-sengal, hampir putus. Jalannya berbatu, dibiarkan alami dan tidak dibuat jalan, mendaki terjal sekali. Beberapa kali saya harus berhenti mengatur nafas saya. Kakiku menjadi kaku dan sakit luar biasa. Maklum sudah lama saya tidak beroleh raga, terutama sejak dan sepulang dari mudik ke tanah air. Para frater sudah mulai agak kuatir, dan mulai menduga kalau-kalau saya tidak akan melanjutkan jiarah ini. Tetapi kukuatkan niatku, bahwa saya harus sampai dipuncak. Setelah dakian yang sangat terjal dan berbatu sampailah kita di pemberhentian pertama dan kita mulai jalan salib kami. Satu demi satu kami lalu jalan ini, bersamaan dengan itu ada kekuatan tersendiri yang mengalir dalam tubuh saya, sehingga saya menjadi merasa kuat. Kakiku yang kaku dan sakit bukan main mulai lemas dan tidak terasa sakit lagi. Setelah satu setengah jam perjalanan dengan doa jalan salib, sampailah kami dipuncak St. Thomas Mountain ini. Pertama-tama yang kami tuju adalah patung besar yang diletakkan di pendopo yang dilindungi dangan kaca. Kami berdoa bersama disitu, dan sambil mengajak para frater membawa intensinya masing-masing kami 'sungkem-tersungkur' bersama.
Setelah mengisi registration book, lalu kami melanjutkan acara retret kami dengan evaluasi bersama. Kesan dan pesan selama retret menjadi acara saat itu. Memberikan kesempatan satu persatu kepada para frater untuk mensharingkan bagaimana Tuhan lewat Roh Kudus telah mereka rasakan selama 5 hari dalam keheningan total. Roh Kudus sungguh berkarya dalam diri mereka. Tema retreat yang saya pimpin ini sebenarnya merupakan paket program dalam 'process formation' mereka. "The story of my life' itulah judul retret rekaan saya. Yakni suatu retret dengan bentuk refleksi pribadi dengan mengambil gaya psyco-spiritual, suatu proses untuk menemukan 'true-self', dengan bertanya diri siapakah aku dihadapan Allah, siapakah aku menurut yang aku kenal, siapakah aku ditengah keluarga, dan siapakah aku dimata teman-temanku. Saya kemas dalam tiga kali konfrensi dan diteruskan dengan refleksi pribadi dengan tuntunan pertanyaan pendalaman. Setelah evaluasi selesai, lalu kami tutup retret ini dengan doa singkat dan Bapa Kami, lalu kami mengucapkan janji 'resolusion' diatas batu besar yang telah berumur ribuan ratusan itu. Setelah itu bebas, boleh bicara dan tidak 'silent total' lagi.
Kesempatan selanjutnya adalah melihat-lihat obyek bersejarah yang ada di puncak 'gunung Tuhan' ini. Ada beberapa obyek sejarah yang sangat menarik untuk kita ketahui. Pertama adalah kapel asli yang dibangung oleh penduduk asli ratusan tahun yang lalu. Kapel ini sudah tidak digunakan lagi, karena kecil sekali. Ditembok belakang kapel ini rusak, dan menurut mereka kerusakan ini disebabkan oleh gajah atau binatang lain yang dulu dengan bebas hidup dipuncak gunung ini. Tidak jauh dari kapel kuno ini telah dibangun diatas batu hitam Gereja yang cukup besar. Yang menarik ditempat ini adalah adanya gedung tertutup yang dilindungi yang berdiri persisi didepan pintu masuk Gereja. Ternyata didalam gedung kecil yang tertutup ini ada salib besar dari besi, berdiri megah dilapisi dengan emas. Salib ini mempunyai sejarahnya sendiri. Menurut keyakinan orang setempat, didalam salib besar ini ada 'salib emas'. Salib emas ini adalah hasil mukjijat yang dibuat oleh St. Thomas. Ketika St. Thomas berdoa, tiba-tiba muncullah salib emas dari batu tempat dia berdoa. Masyarakat setempat berkali-kali ingin menghancurkan salib itu, tetapi salib itu tetap diam tak bergerak.
Disamping kapel, dilereng yang agak curam ada tempat yang menarik, yaitu 'sumur' St. Thomas. Dari papan informasi yang ada ditempat ditulis bahwa air sumur ini telah membawa begitu banyak mukjijat. Dengan meminum air sumur ini banyak orang yang sembuh dari aneka macam penyakit. Menurut keyakinan mereka air itu muncul dari batu besar ketika St. Thomas selesai berdoa dan merasa haus. Karena berada dipuncak gunung, dan tidak ada air, maka dengan menggunakan tongkatnya dia memukul batu itu, dan keluarlah air segar dari batu. Hingga sekarang air jernih mengalir dari batu dan tidak pernah kering sepanjang masa. Hanya sayang ketika saya berada di situ, tempatnya agak kotor, dan kurang terawat, ada beberapa gelas plastik dilempar disitu. Kami semua meminum air yang diyakini membawa banyak mukjijat ini.
Dari tempat ini kami melanjutkan ke tempat yang sudah lama saya pingin lihat. Tidak jauh hanya beberapa meter dari sumur ajaib, diatas batu besar yang datar ada dua telapak manusia yang tidak terlalu besar. Itulah telapak kaki St. Thomas. Tempat ini sudah dilindungi dengan rumah kecil yang ditutup dengan kaca, sehingga telapak kaki itu bisa dilihat dengan jelas. Banyak uang berhamburan ditempat itu. Saya yakin bahwa uang itu berasal dari para jiarah yang mengalab berkah disitu. Pemandang dari puncak ini lumayan indah. Terutama disebelah barat, karena dari atas gunung inilah kita bisa melihat hamparan dan lekuk sungai Periyar yang indah. Keindahan 'God's Own Country' bisa dinikmati dari hijau dan suburnya hamparan tanah dari puncak gunung. Diatas gunung ini pula saya lihat banyak sekali salib dalam berbagai bentuk, dari kecil sampai yang super besar dipancang ditanah atau ditempel dipohon. Inilah salib yang dibawa para jiarah yang berjalan puluhan kilo untuk mendapatkan berkarh dipuncak gunung Tuhan ini.
Setelah merasa cukup dan puas kami melanjutkan perjalan turun gunung. Ada rasa kepuasan tersendiri dalam hati saya, karena saya akhirnya berhasil mendaki gunung ini. Sebelumnya saya tidak pernah mencoba, karena mendengar cerita mereka yang telah mendaki ke sana, saya sudah merasa enggan. Terjal, sulit dan jauh dan tinggi. Selain itu saya adalah orang yang tidak bisa menikmati perjalanan naik gunung. Capek dan lemes, itulah hasil yang bisa saya nikmati. Berjalan turun ini juga merupakan tantangan tersendiri. Walaupun ada perasaan lebih ringan, tetapi membuat capek dan kaki tak bergerak.
Ketika saya tanyakan kepada orang yang tahu banyak tentang tempat jiarah ini, kenapa tidak dibuat jalan untuk mempermudah para jiarah naik ke puncak. Mereka mengatakan mereka tidak akan pernah membuat jalan ke puncak. Mereka akan tetap membiarkan tempat ini alami seperti sekarang ini. Karena makna jiarah ke tempat ini justru tersirat dan terungkap dalam 'beratnya medan' mendagi gunung ini. Inilah simbol dari kehidupan manusia di dunia. Beratnya jalan menuju puncak adalah lambang kehidupan dunia. Hanya mereka yang mampu menghapi hidup berart, bersama dengan Jesus yang tersalib, bisa menikmati kebahagiaan abadi di kehidupa surgawi. Jutaan orang telah mendaki gunung ini, ribuan orang tiap minggu menikmati keheningan dipuncaknya. Ribuan orang telah menerima berkat dan mukjijat. Semua ini adalah berkat iman mereka, karena pertanyaan apakah St. Thomas sungguh pernah berada di gunung itu, masih merupakan suatu misteri yang tidak pernah terjawab dan tidak akan pernah dijawab. Ini misteri iman dan kekayaan sejarah dari umat di Kerala. Apakah makan yang diakui sebagai makan St. Thomas di Kathederal Chinnai dan bukit St. Thomas yang sangat terkenal itu sungguh merupakan warisan Rasul, hanya merekalah yang tahu. Yang jelas dikatakan dalam Injil, bahwa St. Thomas pergi ke India dan mati disana.
Inilah 'shrine St. Thomas', ingin mengalab berkahnya, silahkan datang ke India. Boleh mencoba mendakinya, semoga anda berhasil.

V. Teja AntharaKerala - India

“DERITAKU DAN BUKAN DERITAMU”

India, deritamu memang tiada henti. Dikala musim kemarau, banyak orang mati karena kepanasan. Dan sekarang, dikala musim hujan mengguyur negeri, banjir dimana-mana menelan ratusan orang korban. Sementara itu, ribuan keluarga kehilangan segalanya. Tidak hanya itu, kecelakaan kerata api yang menelan ratusan korban pun juga menjadi rentetan derita yang melanda orang-orang yang sudah terlalu kebal dengan penderitaan ini.
Pagi ini, antara, geram, marah dan protes, aku dikejutkan berita tragis yang tak bisa dibayangkan. Duh Gusti... itulah desiran kata yang keluar dari mulut saya, membaca, mendengar dan melihat berita tubuh-tubuh kecil yang kaku dan gosong terpanggang panasnya api. Peristiwa itu terjadi kemarin pagi, Jum'at 16 Juli di desa Kumbakonam, Tamilnadu, 88 anak-anak sekolah dasar yang sedang belajar di kelas, mati hangus terbakar oleh amukan api yang membakar atap Saraswathi English Medium School. Sedangkan 23 anak lainnya dalam kondisi kritis dan dirawat di rumah sakit. Sedangkan, seorang yang mencoba untuk menyelamatkan anak-anak dari amukan api, akhirnya meninggal setelah berada di rumah sakit.
Kejadian itu berawal sekitar jam 10.40 pagi, ketika para juru masak mempersiapkan makanan untuk makan siang. Kobaran api dari kayu yang dipakai memasak menyambar atap klass ditingkat pertama lalu merambah dan membakar atap gedung yang terbuat dari daun palem alas. Ketika nampak adanya kobaran api, beberapa guru memerintahkan murid untuk berlari dan menyelamatkan diri. Beberapa anak-anak, terutama yang berada di tingkat bawah bisa melarikan diri. Anak-anak SMA yang berada lantai pertama, bisa melarikan diri. Dari pengakuan anak yang menyelamatkan diri, banyaknya korban terjadi karena ketika mereka sudah lari, namun kembali lagi ke klass untuk mengambil tas, buku dan botol air mereka. Disitu mereka terjebak oleh kobaran api. Pada saat kebakaran terjadi, disebutkan bahwa jumlah para murid yang ada di sekolahan itu sebanyak 870 anak dari dua sekolahan, sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Diyakini bahwa sekitar 193 anak berada diklass lantai tiga yang beratap daun palem, ketika mereka terjebak kobaran api. Dan diantara jumlah itu 87 mati hangus terbakar.
Petugas kebakaran berusaha untuk memadamkan kobaran api. Tetapi karena lokasi yang sulit untuk dijangkau karena banyaknya rumah-rumah penduduk disekitar lokasi sekolahan, terlambat untuk bisa masuk ke lokasi. Mereka akhirnya berhasil menerebos tempat anak-anak terjebak kobaran api, namun sudah terlambat, korban telah berjatuhan. Kobaran api itu telah menelan korban anak-anak tak berdosa. Mereka yang mati terbakar berumur antara 9 sampai 13 tahun.
Menurut pengakuan para warga sekitar lokasi; bahwa para gurulah yang pertama-tama lari menyelamatkan diri ketika kobaran api mulai mengamuk dan meninggalkan anak didiknya berjuang sendirian. Bahkan menurut pengakuan mereka, para guru dari sekolah dasar meminta para murid untuk tetap duduk dan tinggal di klass ketika api mulai berkobar, sambil menyakinkan mereka bahwa api akan mampu dipadamkan segera. Namun ketika api mulai membesar dan dan berkobar mengamuk, mereka lari dan menyelematkan diri, dan meninggalkan para muridnya. Justru ironisnya, sementara para murid lari menyelematkan diri, para warga sekitarlah yang menyelamatkan murid-murid itu.
Inilah kisah tragis yang seharusnya tidak terjadi. Anak-anak kecil yang tak berdosa menjadi korban institusi yang mencari untung lewat pendidikan. Api telah menelan hidup mereka. Impian dan harapan menjadi purna. Jayalalithaa, si chief minister, langsung menutup sekolah itu dan menarik ijin operasinya. Sementara kepala sekolah telam diamankan, dan dituduh dengan tuduhan tindah kriminal. Namun mengapa baru sekarang dilakukan, korban telah berjatuhan. Nasi telah menjadi bubur. Dan iya..., sungguh deritamu memang bukan deritaku, siapa yang peduli. Bahkan diantara 'anak-anakku' ketika ku tanya 'how do you feel', mereka jawab 'feel nothing'. Mungkin karena India sudah terbiasa mengalami peristiwa kematian masa yang tragis seperti ini, sehingga menjadi biasa. Dengan kata lain membuat hati orang yang tidak terlibat dan menjadi korban, bebal dan tidak perasa lagi. Duh Gusti............?!!!!

Shalom and Love
MoTe van Kerala

“MENGENANG TIGA BELAS TAHUN YANG LALU’

Mengenang adalah suatu daya usaha 'ingatan' untuk menghadirkan kembali ke 'masa kini dan sini' segala peristiwa, kejadian, yang dialami di masa lalu. "Do this in memory of Me", sabda Jesus kepada para muridNya dalam perjamuan terakhir. Dan peristiwa itu dikenang dan dihadirkan setiap hari dalam perayaan Ekaristi. Ungkapan syukur paling agung dari segala syukur manusia akan kesengsaraan, wafat dan kebangkitanNya, peristiwa penebusan umat manusia. Mengenang untuk disyukuri adalah suatu usaha untuk menjadikan peristiwa itu mempunyai arti dan makna bagi kehidupan masa kini.
Dalam kesempatan ini saya ingin mencoba mengenang dan menghadirkan kembali peristiwa penuh berkat yang terjadi 13 tahun yang lalu. Peristiwa istimewa itu telah mampu mengubah seluruh jalan panggilan dan hidup saya. Peristiwa itu merupakan rahmat yang membuat 'impian' hidup saya menjadi kenyataan. Peristiwa itu membuat langkah hidup saya di masa depan menjadi serba baru dan indah. Peristiwa itu membuat apa 'yang sebenarnya tidak mungkin' bagi hidup saya, "menjadi mungkin dan nyata". Maka saya melihatnya peristiwa itu sebagai 'mukjijat' dalam kehidupan saya. Peristiwa itu tidak lain adalah 'tahbisan imamat' yang telah saya terima dari tangan yang mulia Dr. Hennrisoesanta SCJ uskup Lampung.
Diangka yang menurut banyak orang adalah 'unlucky number' atau angka sial, saya ingin mengenang kembali peristiwa bahagia ini. Hingga saat ini, saya merasakan bahwa tahbisan imamat ini sungguh merupakan 'rahmat' paling agung yang pernah saya terima, selain kelahiran dan rahmat panggilan itu sendiri. Tak seorang 'formator' pun akan berpikir bahwa seorang anak desa yang mempunyai latar belakang keluarga yang cukup 'hitam' akan dipanggil dan dipilih menjadi alatNya. Mengingat dari mana dia datang, tidak mengherankan bahwa dalam proses formatio, sering anak muda ini 'diragukan dan dipertanyakan' apakah dia sungguh serius dan mempunyai motivasi 'murni' untuk menjadi seorang imam. Dan bukti nyata keraguan dari para formator itu adalah ketika mereka 'tidak mengabulkan' permintaan si anak desa ini ketika mengajukan 'kaul kekal'. Tetapi mereka menundanya untuk satu tahun mendatang. Di mata beberapa formator, dia itu dicap sebagai anak malas, kurang 'greget' lambat dan 'klemah-klemah. Kurang tekun dalam belajar, dan cenderung santai. Namun demikian selama pendidikan imamat, dia tidak pernah mengulang ujian. Akhir cap itu dibungkam habis ketika dia membuktikan 'kualitasnya' dan pendadaran bakolereat.
Terbayang jelas diingatan saya saat ini, hari 'h' ketika saya menerima tahbisan. Delapan frater berjalan mantap ke altar Tuhan, diiringi oleh doa keluarga dan sekitar 3000 umat yang merestui kami. Diantara 8 frater itu, tiga diantaranya SCJ dan lima selebihnya adalah calon imam projo Tanjung Karang. Kegembiraan hati saya sudah saya alami, ketika saya mempersiapkan diri alam retret. Saya berjanji dalam diri saya, bahwa hari tahbisan harus menjadi hari yang istimewa dalam hidupku. Karena saya menyadari bahwa 'keberhasilan' saya untuk menerima rahmat ini semata-mata adalah anugerahNya. Panggilan yang saya terus menjawab dalam proses formatio pun merupakan pemberianNya semata. Maka ketika retret persiapan tahbisan, diwaktu sela, saya membuat rosario. Dan rosario itu saya berkati sehabis tahbisan dan saya berikan kepada orang-orang yang memintanya.
Saya sering bertanya kepada Tuhan "Siapakah aku ini, sehingga Engkau begitu baik kepadaku". Pesta selelah tahbisan membuktikan kebaikkanNya itu. Pesta syukuran dirayakan oleh umat dengan besar-besaran. Saya tidak kuasa menolakknya, inilah kelemahan saya. Pesta syukuran dan kaulan keluarga ditandai dengan tanggapan kroncong dan wayang kulit. Demikian terjadi di paroki ditempat saya menjalankan TOP, masa orientasi parstoral, mereka menanggap wayang ketika saya mempersembahkan misa perdana. Di paroki dimana saya menjalankan masa diakonat, mereka mesyukuri karunia panggilan ini dengan nanggap wayang, kroncong dan ketoprak. Dengan segala peristiwa ini, saya sering berpikir 'utangku begitu banyak', mereka yang mencintai saya pasti akan sangat-sangat kecewa bila saya sampai melepaskan jubahku. Maka setiap saat saya berjanji, untuk tetap setia dan memberikan diriku sepenuh kepada Tuhan sambil terus mencoba menjawab panggilannya dengan berkata "Ecce Venio'. Semangat bunda Maria ketika menjawab panggilan Allah untuk menjadi Ibu Tuhan, menjadi moto hidup imamat dan panggilan Tuhan; 'Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku menurut perkataanMU"
Peristiwa yang menyertai tahbisan saya itu menjadi semacam 'alasan' dalam pengabdian saya. Saya ingin memberikan sebanyak mungkin apa yang telah saya terima. Semuanya gratis, dan saya harus membagikannya dengan gratis pula. Saya merasa sangat menikmati panggilan ini, kebahagiaan adalah ukurannya. Saya sangat bersyukur kepada kongregasi yang telah memberi segalanya dalam hidup saya. Karenanya saya menjadi 'seperti' ini. Karenanya saya bisa kemana-mana dan menambah ilmu yang membuat saya bisa melayani umatNya dengan lebih baik. Karena utusannya saya boleh menikmati waktu pelayanan imamat saya 9 tahun diluar negeri. Kini, karena karunia tahbisan itu pula, aku diutus dan dipercaya untuk menjadi pelayan, pendamping dan teman, bapak dan guru bagi anak-anak muda yang ingin menjawab panggilanNya.
Terima kasih kepada para formator, para dosen dan teman-temanku seangkatanku. Terutama teman setahbisan Rm. Agustinus Setya Aji dan Indra Pamungkas yang menjalakan tugas pelayanannya di Philipina. Semoga dengan dukungan dan doa-doa para konfrater dan keluarga, kita tetap setia menjalani panggilan ini. Semoga diangka sial ini, namun penuh berkat karena bersamaan kita boleh ikut mulia dalam kebangkita Kristus, kita tetap diberi kekuatan untuk tetap setia dan menjadi imam-imam kasihNya. Kuucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada 'simbok', kakak-kakak dan adikku, serta keponakan dan cucu, serta saudarku yang dengan setia berkumpul setiap tanggal 10 dalam bulan untuk berdoa secara khusus untuk panggilan imamatku ini. Mereka adalah sumber kekuatanku yang mendukungku dalam doa.
Kunantikan doa-doa dari umat Tuhan, semoga kami yang telah menyerahkan diri dan 'commit' akan panggilan ini mampu menjadi pelayan-pelayan Allah yang membawa damai bagi hidup umat, lahir dan batin. Semoga doa anda mampu membuat kami setia pada panggilan kami. Tetap setia berpegang pada moto pelayanan Jesus, 'Aku datang bukan untuk dilayani, tetapi melayani'. Selamat pesta dan Selamat Paskah. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Shalom and Love
MoTe van Kerala

LOURD MATA MANDIR

Satu hal yang tidak bisa dilupakan bila kita ingin mengenal kehidupan sosial dan masyarakat di India adalah perpaduan harmoni antara kehidupan kongkrit dan ritual keagamaan. Dengan kata lain, bahwa kehidupan masyarakat India selalu berkaitan erat dengan pesta, baik itu pesta masyarakat maupun pesta keagamaan. Ada tiga hal yang selalu menyertai peristiwa pesta, yakni, perayaan, makan dan perarakan atau prosesi. Suatu pandangan yang biasa kita temui di mana-mana, bila ada pesta, selain dekorasi lampu-lampu hias yang luar biasa, mereka selalu melengkapinya dengan perarakan. Baik itu yang bersifat kecil, maupun yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang.
Sejak tanggal 6 sampai dengan 15 Februari yang lalu saya pergi mengelilingi beberapa kota di India bersama dengan Rm. Martin van Ooy, superior district SCJ di India. Seorang warga kelahiran Belanda, namun telah lama menjadi warga negara Indonesia, dan sangat bangga dengan kewarga-negaraannya yang kedua ini.Perjalanan ini lumayan penting bagi misi kehadiran kongregasi kami di masa depan. Pada tanggal 6 pagi kami berangkat ke Mombai dengan kapal terbang, lalu dilanjutkan ke Bhopal. Mendengar kata Bhopal, pasti teringat dalam benak kita peristiwa tragis bocornya radiator nuklir beberapa tahun yang lalu, yang memakan korban ribuan jiwa itu. Bhopal yang menjadi ibukota Madhya Pradesh ini, ternyata kota yang indah. Kotanya berada didaerah perbukitan dan danau, maka tidak heran bahwa Bophal menamakan dirinya sebagai "The Town of Lakes". Di sana kami mengunjungi para frater novis kami yang sedang menjalankan semacam tahun orientasi pastoral dan belajar bahasa Hindi. Mereka kami titipkan pada pendampingan romo projo setempat. Selama tiga hari kami bersama mereka. Ini juga menjadi kesempatan bagi kami untuk mengevaluasi mereka sebagai persiapan untuk kaul pertama mereka.
Dari Bhopal kita melanjutkan perjalanan ke Nagpur. Pada tgl 8 Februari kami meninggalkan Bhopal, dan kembali lagi ke Mumbai, karena tidak ada plane langsung ke Nagpur. Di Nagpur kami mengadakan kunjungan ke Seminari St. Charles dan mencari kemungkinan rumah sewa untuk dijadikan 'theological residence' bagi para frater kami. Dalam assembly bulan Desember 2002 yang lalu kami memutuskan bahwa untuk tingkat teologi, kami akan mengirim para frater kami dan bergabung dengan pendidikan calon imam yang diasuh para romo Dominican disini. Kami telah mempunyai skolastikat di Kerala, sementara seminari tinggi pun hanya ada disamping rumah kami. Mengapa kami meninggalkan Kerala dan pergi ke North? Alasan utama kami adalah bahwa karya kehadiran kami di India di masa depan akan lebih berkarya ditengah-tengah orang-orang miskin dan terasing, serta ikut berjuang dalam bidang 'justice and peace and integration of the Creation'. Daerah selatan tidak lagi memerlukan kehadiran kami. Ratusan kongregasi sudah berada di sana, ratusan imam berkarya di beberapa keuskupan di Kerala, baik mereka yang berasal dari Ritus Latin, Syro Malabar maupun Syiro Malangkhara.
Kami sampai di Nagpur jam 9.30 malam. Dua romo dari kongregasi Domikus telah menunggu kami di lapangan terbang yang relatif baru dan bersih ini. Perjalanan kami ini lumayan lama dan jauh, dari perjalanan dari Cochin ke Bombai memakan waktu kurang lebih 2 jam, demikian pula dari Bombai ke Bhopal. Lalu dari Bombai ke Nagpur memakan waktu kurang lebih 1.30 menit. Bila ditempuh dengan naik kereta api akan memakan waktu berhari-hari. Banyak pengalaman berharga saya peroleh di Nagpur, pertama-tama kehadiran kami disana disambut dengan pesta umat dalam rangka memperingati hari "Our Lady of Lourd". Kedua bahwa misi kami untuk mencari kemungkinan rumah sewa untuk para frater tingkat teologi kami sangat di mungkinkan. Karena institusi mempunyai rumah yang cukup untuk kebutuhan kami yang disewakan bagi mereka yang membutuhkan. Rumah itu sekarang ini sedang kosong, beberapa bulan yang lalu ditempat oleh Suster Gembala Baik, namun karena mereka sudah mempunyai rumah sendiri, maka mereka meninggalkan rumah itu dan dikembalikan kepada Institusi Seminari. Selain itu, kemungkinan kami untuk bisa mengirim para frater kami bergabung di Seminari ini semakin dimungkinkan. Perjumpaan kami dengan uskup dan rektor seminari memberi tanda dan angin segar yang menggembirakan. Bahkan ketika uskup agung bertanya mengenai kehadiran kongregasi kami dan masa depannya, bahwa kami akan berkarya di North of India, melayani mereka yang miskin dan membutuhkan, berjuang bersama mereka dalam bidang keadilan dan perdamaian, beliau memberi respon yang positif; 'that is plus poit of your presence here".
Kehadiran kami dalam pesta tahunan Bunda Maria dari Lourdes juga merupakan kisah tersendiri. Saya yakin bahwa Bunda Maria tersenyum melihat banyaknya umat yang hadir dalam perayaaan itu. Apa yang terjadi di Lourd Mata Mandiri....?
Lourd Mata Mandir adalah bahasa Hindi yang berarti Bunda Maria dari Lourdes, atau Our Lady of Lourd. Ini adalah sebuah tempat jiarah bunda Maria yang berada di Keuskupan Nagpur. Tempatnya ada di Seminary Hills, di komplek seminari dan biara yang berada ditengah kota Nagpur. Lokasinya ada dibelakang Seminari St. Charles, satu komplek dengan gedung seminari dan rumah biara dari beberapa kongregasi. Tempat ini menjadi tempat jiarah Maria yang lumayan terkenal di keuskupan itu. Tidak ada guanya, tidak ada sendangnya, yang ada hanyalan 'grotto' atau bangunan kecil tempat patung Bunda Maria dari Lourdes disimpan. Tempatnya ada di lereng bukit yang dilindungi oleh rindangnya berbagai macam pohon besar. Tempat ini memang sangat nyaman untuk berdoa dan bersantai dalam hening sambil menikmati segarnya angin diperbukitan yang dilindungi oleh negara ini.
Kami tidak tahu bahwa pada waktu kedatangan kami di Nagpur, mereka sedang merayakan pesta tahunan. Malam adalah malam Minggu saya melihat banyak sekali orang yang datang. Saya bisa melihatnya dari kamar tempat kami menginap dibiara seminari yang digembalakan oleh para Domicans ini. Puncak perayaannya adalah hari minggu pari tgl. 9 Februari 2003. Diperkirakan umat yang hadir dalam perayaan itu kurang lebih 25 ribu orang. Tidak terbatas hanya umat Katolik saja yang datang, tetapi banyak sekali umat dari agama-agama lain. Mereka berbondong-bondong hadir dalam tempat jiarah itu, berdoa menurut kepercayaan mereka, dan ikut ngalap berkah dari tempat yang dikuduskan ini. Hal yang demikian memang tidak asing di India, umat katolik pun sering kali juga datang dalam perayaan agama Hindu atau Islam.
Rankaian perayaan dimulai pada pagi hari, sekitar jam 06.00 pagi diadakan perayaan ekaristi dalam bahasa Inggris, selesai itu dilanjutkan dengan perayaan ekaristi dalam bahasa Marathi, bahasa setempat. Kemudian dilanjutkan lagi perayaan ekaristi dalam bahasa Konkani, bahasa daerah State of Goa, lalu disambung dengan misa bahasa Tamil, dari Tamil Nadu. Tidak ketinggalan pula misa berbahasa Telugu untuk umat yang datang dari Andhra Pradesh dan akhirnya misa dengan Catholic Syro Malabar Rites dengan bahasa Malayam, bahasa orang-orang Kerala. Misa dalam berbagai bahasa ini selesai pada jam 2.00 siang hari. Misa yang memakan waktu paling lama adalah misa dalam bahasa Malayam yang dipersembahkan dalam Syromalabar rites. Dua jam lebih mereka merayakannya, karena semuanya harus dinyanyikan dan selama itu tidak ada kesempatan untuk duduk, umat dan romo berdiri, kecuali pada saat homili.
Suatu hal yang sangat luar biasa dalam pesta tahunan ini adalah bahwa semua umat yang hadir dalam perayaan itu diberi makan. Makanannya memang tidak terlalu istimewa, tetapi bagi umat di sana sudah lebih dari cukup. Sebagaimana biasa dalam pesta-pesta keagaamaan hidangan yang disajikan adalah 'menu vegetarian food'. Mereka meyakini bahwa pada pesta kegamaan berkah akan melimpah bila mereka tidak membunuh binatang. Ada jenis makanan khusus untuk pesta-pesta keagamaan di India. Maka selain kesibukan umat yang berdoa 'ngalab' berkah kepada Bunda, kesibukan yang luar biasa juga terjadi di dapur umum. Mulai jam 11.00 dapur umum telah dibuka dan diperkirakan sebanyak umat yang datang mendapat jatah makan siang. Bisa dibayangkan betapa repot dan ramainya pesta itu. Puncak acara ditutup dengan misa akbar yang dipersembahkan oleh Uskup Agung Nagpur, Mgr. Abraham. Misa sangat meriah, tenang dan sakral. Puluhan imam bergabung dalam konselebrasi termasuk Rm. Martin dan saya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Hindi.
Pesta, makan dan prosesi tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan imam umat di sana. Kalau ada pesta, pasti ada makanan dan ada perarakan, tampa tiga hal ini perayaan menjadi tidak lengkap. Satu syarat lagi adalah bunyi petasan yang menggelegar sebagai tanda dimulainya dan diakhirinya suatu acara pesta menjadi tanda besar dan kecilnya pesta itu. Semakin besar dan lamanya mercon berbunyi, berarti panitia mempunyai banyak uang dan pesta semakin besar. Demikian pula yang terjadi setelah perayaan ekaristi. Setelah misa dilanjutkan dengan prosesi atau perarakan. Kita bayangkan betapa ramainya prosesi itu. Hampir seluruh umat yang hadir turut dalam peraarakan keliling komplek, kurang lebih tiga sampai empat kilo meter jauhnya. Semua jalan raya yang kami lalu diblok dan banyak polisi ikut ambil bagian dalam mengamankan jalannya perarakan ini.
Perarakan selesai, bukan berarti perayaan juga telah usai. Dilanjutkan dengan upara penghormatan 'patung yang diarak'. Umat berduyun-duyun datang untuk menyentuh patung itu dan membawa berbagai macam persembahan, terutama bunga. Inilah keunikan umat India. Mereka mempunyai kebiasaan devosi yang sangat kuat. Bagi yang tidak pernah hidup bersama mereka, mungkin mereka tidak akan merasa 'sreg' karena ada berbau tahayul. Tetapi itulah kenyataan, mereka tidak bisa memisahkan kehidupan iman mereka dari budaya mereka berasal, agama Hindu. Sampai kurang lebih jam 10.00 malam 'acara ini berlangsung, setelah itu sepi, namun masih banyak umat yang 'lek-lekan' hingga pagi ditempat ini.
Acara baru berakhir pada tgl 11 Februari, namun kami tidak mengikuti upacara penutup, karena kami harus melanjutkan perjalanan kami ke Guntur Andhra Pradesh.
Berangkat dari Nagpur siang hari, naik Kereta api, dan sampai di Vidyavada tengah malam. Dua romo dari seminari kami sudah menjemput kami di station setempat. Hari berikutnya kami punya waktu sebentar untuk beristirahat. Sedangkan hari berikutnya, tgl 13 Februari kami mempunyai hari yang sangat berat, yaitu rapat dewan district. Selain kami menyampaikan laporan kunjungan misi kami untuk mencari rumah sewa di Nagpur, kami juga harus berbicara mengenai calon-colon novis tahun mendatang. Hari itu sungguh hari penuh berkat, namun juga berat, karena 'saya' ikut menentukan masa depan banyak orang. Ada 10 calon novis yang melamar, tetapi berapa yang akan diterima, masih menjadi rahasia kami.
Hari Jum'at sore kita pulang ke Kerela, dan sampai di Kerala atau tepatnya di rumah pada jam 1.30 siang hari. Sekarang ini masih lumayan capek, badan terasa greges semua. Namun demikian saya tetap merasa sehat, perlu pemulihan tenaga. Yang jelas tugas sudah menunggu lagi, karena para frater sekarang ini sedang sibuk mempersiapakan ujian mereka.
Inilah kisah perjalanan kecil, semoga sharing ini memperkaya pengalaman kita dalam mengikuti Dia di dunia penuh derita ini.

Fr. Teja Anthara SCJ

‘APAKAH DIA ITU BENAR-BENAR RAJA?”


Dalam pengantar Misa komunitas pada perayaan Kristus Raja pagi ini, Rm. Thomas Stanley, an Irish, membuka dengan mengajak para frater melihat kenyataan dunia. Kedamaian, kebahagiaan dan kerukunan ternyata masih jauh dari impian setiap manusia. Lihatlah dunia, perang masih tetap berjalan, bunuh membunuh bisa kita saksikan setiap hari dilayar televisi. Litani penderitaan manusia yang mengalami bencana tidak menjadi semakin pendek, tetapi malah semakin panjang. Apakah ini berarti bahwa Jesus gagal menjadi Raja semesta alam. Lalu diawal misa itu beliau melemparkan suatu pertanyaan refleksi, apa makna perayaan kita hari ini, apa maksudnya dengan gelar Kristus Raja semesta alam?
Berbekal pertanyaan inilah, saya memulai kegiatan di hari Minggu penutup tahun liturgi Gereja. Saya memang sangat terusik dengan pertanyaan itu. Dalam renungan saya, saya mencoba mengotak-atik peran Jesus Kristus, sebagai Raja semesta alam dalam hidupku, dan dalam hidup di dunia ini pada umumnya. Sementara itu, Injil hari ini memperkuatan gundah gulana hatiku. Saya mencoba menempatkan diri saya sebagai Pilatus yang bertanya kepada Jesus; "Apakah kamu seorang Raja?" Jawaban Jesus memang jelas, bahwa Dia adalah Raja, tetapi kerajaanNya bukan dari dunia ini. Lalu....dari mana, siapa yang Jesus 'Rajai' itu?
Hari ini, setelah perayaan ekaristi di komunitas, bersama dengan para frater tingkat I Filasat, kami pergi ke Seminari Dehon Bhavan, di Kumbalanghy. Jarak dari rumah kurang lebih 60 km. Dengan naik bus umum ala India, karena memang khas, setelah kurang lebih tiga jam perjalanan, kami sampai ditempat tujuan. Disambut oleh wajah-wajah cerah calon-calon SCJ masa depan, kami memulai acara kunjungan kami. Tidak ada yang formal, karena ini kunjungan keluarga. Tetapi menjadi bermakna bagi mereka, karena kesempatan ini menjadi sarana bagi mereka untuk saling mempererat persaudaraan mereka. Terutama karena para frater yang tinggak sekomunitas dengan saya datang dari berbagai states yang ada di India. Sementara seminari menengah kami di Kumbalanghy tinggal anak-anak yang berhasal dari Kerala dan dari Tamil Nadu perbatasan, yang sudah terbiasa berbicara bahasa Malayalam. Sharing perkelompok membuka acara kami, lalu dilanjutkan makan siang, dan akhirnya olah raga. Volley ball dan basket ball adalah acara olah raga kami, namun tidak sampai tuntas, karena jam 03.00 siang itu ada acara lain yang harus mereka ikuti. Sebenarnya acaranya jam 04.00 tepat dimulai, namun mereka butuh persiapan, maka olah raga harus selesai sekitar jam 03.00.
Sekitar jam 03.30 banyak sekali umat berdatangan di depan kapel seminari. Sementara itu disepanjang jalan dari perbatasan sampai ujung pulau Kumbalanghy sudah dihiasi dengan rumbai-rumbai kertas dan janur. Ternyata umat yang datang di seminari kami itu adalah umat yang bersasal dari Paroki dimana kami tinggal. Semakin mendekati jam yang ditentukan umat semakin banyak. Beberapa orang sedang mempersiapkan patung Jesus Sang Raja dan menghiasi dengan rangkaian bunga. Patung inilah akan diarak menuju tempat yang telah ditentukan.
Di pulau ini, yang tidak terlalu besar, ada lima paroki. Mayoritas penduduk pulau ini memang Katolik. Bahkan sering disebut Katolik yang cukup tradisionil, dan sangat kuat dalam hal devosi. Banyak tokoh-tokoh penting di state ini datang dari daerah ini. Tetapi daerah ini juga terkenal juga sebagai daerah yang sederhana, bahkan sedikit agak 'desani'.Orangnya menjadi bahan ejekan; "kumbalanghy kara'. Kalau kita biasa bilang "dasar orang kubu lu", kalau mau mengatakan bahwa orang itu kurang 'beradab'. Hari ini, dalam merayakan Jesus Kristus Raja Semesta alam, lima paroki dari pulau ini berkumpul bersama untuk mengadakan perayaan Ekaristi. Perayaan ini bukan yang pertama kalinya dan hal yang asing bagi mereka, karena hal yang sama selalu dilakukan setiap tahun. Hanya tempat parokinya yang berpindah-pindah. Dan pada tahun ini perayaannya jatuh di paroki Hati Kudus Jesus, paroki tetangga yang jauhnya kurang lebih 5 kilo meter dari seminari kami.
Tepat jam 04.00 rombongan umat dari paroki St. George, dikomandani oleh pastor paroki berangkat dari kapel seminari menuju tempat perayaan Ekaristi dilangsungkan. Barisan prosesesi berjalan rapi memenuhi jalan Kumbalanghy yang sempit. Mereka berjalan dua baris. Barisan paling depan, lebih dari dua puluh orang membawa umbul-umbul dan simbol dari paroki ini. Diikuti oleh barisan anak-anak dan orang tua. Sementara bagian belakang dipanggulnya patung Kristus Raja. Apa yang mereka lakukan sepanjang prosesi? Biasanya mereka berdoa rosario, tetapi kali ini mereka meneriakkan yel-yel khusus. Persis kaya rombongan kampanye yang meneriakan 'yel' partai mereka. Dalam hal protes, kampanye dan mogok, India memang ahlinya. Selalu tertip dan teratur. Demikian pula halnya dengan peraraan ini, mereka meneriakan 'Hidup Jesus' "Jaya abadi Namanya", dan berbagai 'yel-yel' dalam bahasa mereka. Semua yang ikut dalam barisan berteriak-teriak bergantian. Sementara itu barisan semakin lama semakin panjang, banyak umat yang rumahnya dilalui bergabung dengan barisan prosesi ini. Mereka telah menunggu sepanjang jalan. Banyak orang yang juga datang ke jalan melihat perarakan meriah. Sementara lalu lintas tetap berjalan lancar. Hal ini terjadi karena masyakat memang sadar akan hak mereka. Pemerintah membolehkan segala bentuk prosesi apapun, asal tidak membuat lalu lintas menjadi macet dan terganggu. Maka walaupun seringkali jalan dipenuhi oleh manusia, tetapi dikala bus dan kendaraan lewat, mereka akan minggir dengan sendirinya tanpa disuruh.
Selain umat menyambut ditepi jalan, banyak juga rumah-rumah umat yang menyambut perarakan ini dengan bunyi mercon yang sangat memekakkan terlinga. Bunyinya kayak 'bom' yang pernah meledak di Indonesia, bedanya bunyi ini adalah bunyi penghormatan akan lewatnya Sang Raja, bukan bunyi yang membunuh puluhan orang yang tak berdosa. Perjalanan perarakan ini semakin panjang, sementara tujuan kami sudah semakin dekat. Tanpa terasa jarak lima kilometer telah kami tempuh, rasa capek tidak terlalu terasa. Sebenarnya kondisi badan saya sendiri belum terlalu sehat. Saya baru saja bangun dari istirahat panjang, empat hari merasa 'liveliness' atau loyo tanpa energi karena penyakit lama saya yang tak terperhatikan. Saya sungguh merasa menikmati perarakan ini. Sehingga rasa capek tidak terlalu saya rasakan.
Hal indah yang saya lihat dalam perarakan ini adalah, ketika rombongan perarakan panjang kami sampai diperbatasan paroki. Umat diparoki dimana akan diselenggarakan Ekaristi juga menyambut kami dalam antrian panjang dari Gereja sampai diperbatasan. Luar biasa memang. Setelah semua perarakan memasuki daerah paroki ini mereka bergabung dengan kami dengan menempatkan diri dibelakang patung Jesus dari paroki kami. Lalu bersama-sama menuju ke Gereja mereka. Ada suatu gejolak rasa kagum dan decak haru dalam hati saya. Sungguh luar biasa, dan inilah umat dari Sang Raja yang 'kerajaanNya bukan dari dunia ini'.
Decak kagum semakin membesar dimulut saya, ketika saya tahu bahwa umat dari 4 paroki yang lain, ternyata juga melakukan hal yang sama. Mereka berprosesi menuju ke Gereja ini. Dan akhirnya rimbuan umat berkumpul bersama dalam satu gema suara memuji sang Raja. Sungguh..... genderang ala India, membahana mewarnai akhir perarakan ini, sementara suara mercon yang menggelegar terus terdengar bergantian. Dan ternyata pesta ini Kristus Raja yang dirayakan dengan cara ini tidak hanya terjadi di Kumbalanghy, tetapi juga disuluruh keuskupan Cochin. Bukan hanya itu...lebih lagi, malah dirayakan diseluruh Gereja-gereja di India. Bayangkan..... mereka merayakannya dengan membuat prosesi. Hal yang sulit untuk bisa dibayangkan, bila hal yang sama akan terjadi di Indonesia. Sebenarnya mereka adalah 'minoritas' di India, namun mereka berani menampakkan identitas mereka dan mewartakan Kristus dengan gayanya yang khas. Mereka mempunyai hak kebebasan itu, dan pemerintah melindungi dan menghargainya. Kapan hal yang demikian akan terjadi ditanah air tercinta..?
Pertanyaan keprihatian yang mengawali misa pagi ini di komunitas, akhirnya terjawab. Penghiburan batin yang luar biasa saya dapat pada hari ini. Tidak hanya ketika anak didik kami bertemu dengan saudara seperjuangannya dan merasa semakin kenal satu sama lain. Tetapi juga terhadap keprihatinan saya akan situasi dunia saat ini. Bagaimanapun Jesus Kristus adalah tetap Raja di raja apapun situasi yang terjadi didunia. Ia adalah raja kebenaran dan damai. Dia menjadi raja bukan dengan kuasa manusia dan memerintah dengan tangan besi. Tetapi Dia adalah Raja dan sungguh-sungguh "Raja" bagi mereka yang mau menerimaNya dan menjalankan hukum pemerintahNya, yakni hukum kasih dan pengampunan. Didalam hati umat yang menjalankan hukumNya, dia sungguh meraja. Semoga semakin banyak orang yang merasa dan mengalami, bahwa 'rajai' oleh kuasan kasihNYa. Amin.


V. Teja Anthara SCJ
Kerala - India.

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (5)

Setelah bus melaju cepat selama hampir dua jam, akhirnya berhenti di pemberhenti bus. Makan siang diberikan kesempatan kepada para penumpang. Pengalaman adalah guru yang bijak, kata pepatah. Maka karena sebelum berangkat sudah makan siang maka saya tidak mau makan di restoran terlalu sederhana ini. Yang jelas saya enggak mau ketinggalan bus lagi. Satu hal yang ingin saya buat ditempat ini, yang membuat saya langsung loncat keluar dari bus, adalah membuang sisa air tak berguna dar dalam perut saya. Toleh sana, toleh sini...kok enggak ada toilet. Sementara itu disamping bus, berdiri berjejer para lelaki membuat pancoran spontan.
Duh Gusti.....inikah toilet yang saya cari itu. Hal seperti sebenarnya bukan hal baru bagi saya, tetapi ditempat pemberhentian bus ini, aku enggak bisa ikut-ikutan mereka. Takut dilihat oleh penumpang bus yang berambut panjang. Terpaksa cari tempat yang agak jauh dari kerumunan, dan ditempat itulah saya mendapatkan 'kelegaan' badan. Dalam hal ini India memang sangat terbelakang. Di daerah Andhra Pradesh, WC ada di sepanjang sisi jalan kereta api atau ditanah kosong. Anehnya, walaupun ada sungai atau saluran air (ledeng) mereka tidak akan 'nongkrong' ditempat itu. Karena air itu mereka gunakan untuk mandi, untuk mencuci dan segala kebutuhan lainnya. Mereka tidak ingin mengotori air itu dengan kotoran mereka sendiri.
Setelah kurang lebih satu jam, tujuan pertama dari perjalan kami telah sampai. Vellore adalah kota yang lumayan besar. Dikota ini ada keuskupannya. Namun saya tidak mempunyai waktu untuk jalan-jalan. Dikota ini kami ganti bus yang menuju Tirupattur. Untuk melemaskan kaki yang sekian jam terpajang kaku diantara tempat duduk bus, saya jalan-jalan sebentar. Maksud hati ingin menghilangkan rasa dahaga dengan sekedar mencari ice cream. Tetapi sungguh aneh, di station bus yang begitu besar, saya tidak mendapatkan tempat yang nyaman untuk sekedar menikmati ice cream Tidak ada yang istemewa bisa dinikmati ditempat ini. Selain benteng besar yang tidak jauh dari station. Saya pun tidak tertarik untuk mengetahui benteng apa itu. Capeknya badan dan panasnya udara saat itu membuat saya tidak berminat untuk mengetahui situasi di situ. Sementara itu terpikir perjalan panjang yang masuk harus kami lalui. Tiga jam lagi waktu yang kami butuhkan kan untuk sampai tujuan kami. Setelah mendapatkan bus, dan duduk tidak lama menunggu bus berangkat meninggalkan station bus itu. Rasa kangen terhadap kampung halaman menjadi kembang khayalan saya saat itu. Berandai-andai sambil membayangkan diri, nikmatnya naik bus ber-AC atau naik mobil mewah yang hanya dalam impian belaka.
Rasa lelah seharian berjalan menjadi sirna, manakala bus yang saya tumpangi berhenti di sini. Tirupattur adalah kota kecil. Mempunyai station kerati api yang besar sekali. Di kota inilah saya akan meluangkan waktuku untuk menjalankan 'misi menjala ikan'. Selain itu, ini adalah kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga salah satu dari frater kami. Saya tidak menduga bahwa di kota kecil ini ada sekolahan dan college yang cukup terkenal. Dominico Savio, Don Bosco College, dari namanya sudah jelas bahwa institusi pendidikan ini ada dalam palayanan para imam dan bruder ordo Salesian. Memang Tirupatur adalah tempatnya para romo Salesian berkarya. Sungguh kekaguman saya muncul atas karya besar dibidang pendidikan yang para iman Salesian perbuat. Komplek sekolahan dan college menjadi 'tanda' bahwa kongregasi ini sungguh kaya. Puluhan hektar tanah menjadi lokasi komplek itu. Dan komplek itu berada di dalam kota. Bisa membayangkan berapa harga tanah itu bila dibeli pada jaman sekarang ini. Sungguh bukan 'barang' yang murah.
Dibalik kekaguman akan karya mereka, tersirat rasa sedih di hati saya. Terutama mengingat banyaknya orang miskin yang tidak mempunyai tanah. Mereka mendirikan gubuk dipinggir-pinggir jalan. Sewaktu-waktu bila ada pemerintahan gubuk tempat mereka berlindung itu akan digusur tanpa kompromi. Gereja ini adalah gereja kaya yang mempunyai banyak fasilitas dan harta milik. Penghayatan bahwa Gereja adalah bagian dari kaum miskin dan memihak kepada mereka, sulit untuk dibuktikan. De fakto, gereja disana, baik yang berada dalam naungan religius institusi maupun diocesan menunjukkan bahwa mereka adalah 'tuan tanah dan boss'. Maka tidak mengherankan kalau mentalitas, atau spiritualitas Gereja adalah tubuh Kristus sulit untuk mendapat tempatnya dalam penghayatan hidup mereka. Tanggung-jawab umat terhadap kehidupan Gereja menjadi sangat kecil dan sulit untuk berkembang. Keterlibatan umat dalam pembangunan dan kehidupan Gereja menjadi sangat langka bila diukur dari 'tanggung jawab pribadi' atas konswensi dari panggilan iman. Banyak orang datang ke Gereja bukan untuk memberi apa yang menjadi tanggung-jawabnya, tetapi meminta sesuatu karena Gereja memang punya. Tidak disangkal bahwa banyak pula aktifitas sosial yang memihak kaum miskin. Tetapi secara sepintas hal demikian sulit untuk dilihat. Kesan paling dalam bahwa Gereja itu kaya. Lihatlah bangunan Gereja selalu megah dan indah, walaupun berada ditengah penduduk yang sangat miskin dan sederhana.
Pikiran inilah yang mengusik dalam benak saya, ketika melihat gedung college, sekolahan dan gereja yang ada dikomplek itu. Terbesit pikiran nakal, apa bedanya para imam itu dengan para bisnis yang mengelola sekolahan sebagai asset penghasilan. Bukankan tidak perlu menjadi religious untuk mengelola sekolahan seperti itu. Kesan ini menjadi kuat, kita keramahan dan sambutan tangan tidak pernah saya alami, walaupun selama tiga hari saya menginap di rumah khusus yang disedikan bagi para tamu.
Di tempat ini saya menginap untuk dua hari. Dan selama dua hari ini kami bertemu dengan calon-calon dari Tamil Nadu. Saya sungguh merasa beruntung, karena keluarga frater sangat ramah. Saya juga merasakan suasana kekeluargaan yang akrab. Inilah seminari dasar yang dibutuhkan bagi para calon imam. Dan inilah tujuan saya mengunjungi keluarga para seminari, untuk mengetahui bagaimana suasana dan kehidupan para frater kami berasal. Kami menyadari betapa penting dalam pendampingan formation kita dilengkapi pula dengan pengetahuan dari mana para calon kami itu berasal. Ini penting, karena proses formatio adalah proses bagaimana kita mendampingi calon imam ini untuk menjadi dirinya sendiri dalam semangat atau spiritualitas kongregasi di mana mereka bergabung. Beruntunglah kami, bahwa mempunyai calon anggota dari keluarga ini. Fraternya cukup sangat baik, pinter dan keluarganya pun keluarga katolik yang sungguh 'devoted'. Memang mereka bukan keluarga yang kaya, keluarga sederhana yang untuk mendapatkan makanan sehari-hari pun harus bekerja keras sebagai pembantu rumah tangga di komplek besar milik para romo itu.
Selain itu bahwa saya juga boleh ikut bergabung dalam perayaan pesta paroki bersama dengan uskup Vellure, yang juga memberikan komuni pertama kepada anak-anak dari paroki ini. Adik kandung frater itu kebetulan juga menerima komuni pertama. Dan bagi kebanyakaan orang Katolik India, penerima komuni pertama sungguh merupakan pesta keluarga. Dirayakan dengan cukup istimewa, baik di Gereja maupun dirumah mereka masing-masing. Paling tidak semua anggota keluarga berkumpul untuk peristiwa ini.
Dua calon kami peroleh dari tempat ini. Saya cukup heran, mengapa mereka ingin bergabung ke kongrasi kami, sementara di situ ada kongregasi besar yang sudah mempunyai nama. Satu dari mereka adalah anak dari karyawan pastoran itu. Jawaban dari pertanyaan ini sangat mengejutkan saya. Mereka mengatakan bahwa bagi mereka tidak akan pernah ada kesempatan untuk bisa menjadi anggota dari konggregasi itu. Memang tidak ada peraturan tertulis, tetapi dari kenyataan dan rumor yang beredar, sangat sulit untuk bisa diterima dikonggregasi itu. Syaratnya terlalu berat bagi keluarga miskin seperti mereka. Mereka tidak akan menerima calon dari keluarga miskin, dari kasta rendah, tidak mempunyai penampilan tubuh yang menarik dan nilai sekolah yang sangat memuaskan. Duh Gusti......berat tuntuntannya. Maka tidak mengherakan ketika saya berada di Pudur, romo paroki yang masih mudah itu bertanya kepada saya, "Romo mau calon yang macam apa? "Hanya yang pinter-pinter, dari keluarga katolik tradisionil, kasta tinggi dan keluarga cukup?". Saya menjawab dalam kekagetan saya "saya ingin calon seminari yang baik, titik!! Saya tidak peduli apakah mereka dari kasta rendah, dari keluarga miskin atau dari keluarga katolik baru. Yang saya perdulikan adalah bahwa mereka 'anak baik dan beriman, mempunyai niat dan motivasi yang kuat untuk menjadi imam".
Akhirnya pada tanggal 27 malam, sekitar jam 11.30 kami balik lagi ke Kerala. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan namun sangat menggembirakan. Tuhan sungguh memberikan berkah melimpah bagi perjalanan kami ini.

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (4)

Dari desa kecil yang makmur namun tetap miskin itu, kami melanjutkan perjalanan promosi panggilan kami. Dari desa K.K. Pudur menuju sebuah kota kecil di Tirupattur. Kota ini terletak didaerah tengan Tamil Nadu, antara Andhra Pradesh dan Madras. Untuk sampai dikota kecil itu, saya menempuh perjalanan naik bus hampir sehari penuh. Berangkat dari desa Pudur jam 08.00 pagi dan sampai di tujuan sekitar jam 07.30 malam. Lagi, suatu perjalan panjang yang melelahkan. Mengapa melelahkan, karena seharian duduk dibangku bus yang sempit. Kaki hampir tidak bisa digerakkan. Selain itu jangan berpikir bahwa di India kita bisa dengan mudah mendapatkan mobil AC yang mewah dan nyaman. Bus macam ini mulai muncul dikota-kota besar, namun biasanya operasional sangat terbatas. Dan biasanya hanya untuk orang-orang yang berduit.
Dalam perjalanan menuju Tirupattur saya menyempatkan diri mengunjungi Sacred Heart College di Poonamalee, Madras. Suatu seminari tinggi yang sangat terkenal di daerah utara India. Didirikan oleh para pastor dan kongregasi Salesian, dan sekarang ini admintrasinya ditangai oleh Keuskupan. Selain seminari ini menjadi tempat pendidikan para calon imam dari State Tamil Nadu, mereka juga menerima para calon imam dari berbagi keuskupan di India. Bahkan ada banyak kongregasi yang mengirim para calon imamnya di seminari tinggi ini. Mereka menyelenggarakan dua program, yakni filsafat dan teologi sekaligus. Tujuan kunjungan saya adalah mencari informasi mengenai program teologi di sini. Sebenarnya kunjungan ini tidak saya rencanakan sebelumnya, tetapi karena informasi yang saya peroleh dari imam setempat sangat menarik, dan ditambah pesan dari Romo Superior untuk mencari informasi mengenai college untuk teology, maka saya menyempatkan diri mampir di seminari ini. Lokasinya pun ada di jalan raya menuju kota kecil yang akan kami kunjungi.
Gedung megah dengan rimbunan pohon-ponan besar dan berada dilokasi yang sangat luas itulah tempat seminari itu. Ketika saya masuk lokasi itu, ada perasaan nyaman dan segar. Situasi seminari itu memberikan rasa damai bagi para calon imam yang belajar di situ. Jauh dari keramaian kota, namun bisa ditempuh dengan mudah, karena jarak dari jalan raya ke lokasi hanya sekitar dua ratus meter. Setelah bertemu dengan resepsionist, saya disambut dengan ramah oleh Romo wakil rektor. Sambutannya membuat kami merasa krasan, dan hampir semua informasi yang kami harapkan dari seminari tinggi ini kami peroleh sudah.
Informasi yang paling menarik dan kiranya inilah yang kami butuhkan adalah bahwa seminari itu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar kuliah. Selain itu mereka juga mengajarkan paket pastoral yang sangat menarik. Misalnya pastoral untuk anak muda menjadi prioritas dalam katekese mereka. Animasi untuk penggerak kegiatan sosial untuk masyarakat desa menjadi bagian penting dari kepedulian mereka terhadap orang-orang kecil. Tidak hanya itu, bahkan bekerja sama dengan para konggregasi dan lembaga swadaya masyarakat, mereka mengadakan kelompok studi sosial yang memberi perhatian pada para gelandangan, pengemis dan orang-orang terlantar. Mereka juga memberi porsi lumayan imbang mengenai ajaran sosial Gereja. Dan yang unik dan hanya ada di India, mereka mulai mengajarkan "Teology of Dallit Christianity". Ini merupakan suatu daya tarik kami, karena kehadiran konggrasi kami di India mempunyai arah pastoral masa depan pada keadilan dan sosial, serta pelayanan pada orang-orang kecil dan miskin. Mungkin inilah tempat yang tepat untuk menggembleng para calon-calon imam masa depan konggregasi kami. Semoga....kehendak Tuhan yang terjadi.
Waktu berjalan pelan namun pasti, saat makan siang pun menjelang sudah. Saat itu pula kami mohon pamit, sebelum kami meninggalkan komplek seminari yang luas dan indah itu, keramahan romo itu masih boleh kami rasakan dengan memberi kepada kami jamuan makan siang. Lumayan, waluapun semua vegetarian, karena hari itu adalah hari Jum'at, namun membuat kami merasa kanyang juga. Cukup sebagai bekal untuk melanjutkan perjalanan yang masih cukup jauh ini.
Mencari bus jurusan Vellore tidaklah susah. Hampir setiap bus antar kota pasti melewati kota yang lumayan besar di daerah tengah Tamil Nadu ini. Maka tidak terlalu lama kami menunggu, bus jurusan Vellore kami peroleh. Dari kota itu, kami akan ganti bus yang menuju Tirupattur. Sepanjang jalan mata saya tetap terjaga. Kantuk menyerang begitu berat, tetapi tidak ada tempat duduk yang bisa menjadi sandaran kepala saya, untuk sekedar membuat mata ini merem. Semua dari besi, lagi pula jalannya pun tidak semulus jalan tol. Gronjalan membuat kepala sakit bila terbentur dengan besi sadaran kursi itu. Maka untuk menghilangkan rasa kantuk, saya menikmati pemandang di sepanjang jalan. Banyak sekali perubasahaan besar yang terkenal mempunyai pusat produksinya di situ. Dari garmen sampai dengan mobil. Bahkan saya lihat ada pabrik assemble mobil Hundai dan Ford ada disitu.
Dari sekian banyak pemandangan disapajang jalan yang paling menarik adalah tempat terbunuhnya Perdana Mentri Rajeev Gandhi. Sebagaimana kita ketahui bahwa dia mati pada saat sedang mengadakan kampanye di Tamil Nadu. Lokasinya ditanah lapang, yang lumayan jauh dari pusat kota. Namun ditempat sepi yang jauh dari keramaian itu dia mati karena bom bunuh diri dari kelompok lawan politiknya. Tempat itu sekarang menjadi monument yang megah dan indah. Tidak lagi menjadi tempat anak-anak bermain Cricket atau sekedar duduk-duduk sambil berjanda dengan teman-temannya. Tidak semua orang boleh masuk ke lokasi itu lagi. Dijaga ketat dan dijadikan monumen bersejarah. Tragis.....tetapi itulah bagian sejarah hidup orang India.
Mobil berjalan cukup cepat, sekali-kali mobil berhenti diperhentian untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Inilah yang bagi saya sungguh mengagumkan. Walaupun hampir semua sopir India itu 'gila', enggak tahu banyak aturan lalu lintas. Tetapi mereka begitu taat terhadap peraturan pemerintah. Mereka tidak berani berhenti disambarang tempat. Para penumpang pun juga tahu, bahwa bus tidak akan pernah berhenti bila tidak ditempat perhentiannya. Maka mereka selalu menunggu bus ditempat pemberhentian bus. Dan biasanya bus antar kota tidak akan banyak berhenti. Maka perjalanan menjadi lancar.

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (3)

Sepanjang jala menuju ke desa yang saya tuju, saya selalu mengagumi indahnya pemandangan padi menghijau. Namun dibalik kekaguman itu, saya selalu merasa heran dan bertanya-tanya, bahkan protes dalam hati. Mengapa waluapun hijaunya padi seluas memandang itu tanda kemakmuran, namun orang-orang desa itu tetap miskin? Kemana larinya semua hasil panen itu. Rumah-rumah mereka tidak lebih baik dari 'kadang ayam'. Satu rumah gubuk beratap daun palem liar, tidak ada ruangan lain kecuali ruang dibawah atap. Semua kegiatan hidup dari masak sampai tidur, terjadi di dalam ruangan yang sama. Mereka akan tidur diluar rumah bila musim panas datang. Harta miliknya pun tidak lebih dari alat-ala masa sederhana dan baju-baju kumal yang biasa disampirkan disampiran rumah gubuk mereka. Tidak ada tv, tidak ada tempat tidur yang empuk, tidak ada kendaraan. Boleh dibilang punya, bila didekat tempat tidur mereka ada kerbau dan sapi. Kerbau adalah kekayaan yang paling berharga, karena dari kerbau inilah mereka bisa menikmati 'susu segar' dan yogurt atau bahasa setempat 'perugu'.
Berbicara mengenai susu kerbau saya punya pengalaman yang unik. Beberapa waktu yang lalu, dibulan Januari, saya berkesempatan untuk mengunjungi rumah salah satu frater di Andhra Pradesh. Kunjungan kami ini termasuk mendadak, karena kami tidak sempat memberitahu rencana kedatangan kami kepada frater. Saat itu adalah musim panen padi. Semua penduduk kampung sibuk disawah mereka. Dari pagi hari mereka bekerja keras, pulang sudah petang. Ketika kami sampai di rumah mereka, mereka baru saja datang dari sawah. Lagi duduk santai diamben besi yang ditempatkan didepan rumah gubuk mereka. Tentu saja melihat kedatangan kami dengan mobil taksi sewaan (mobil model India, kuno) membuat mereka kaget. Sebagai tuan rumah yang baik, yang ingin memberikan service terbaik bagi tamunya, seketika itu mereka menjadi sibuk. Persis Martha dalam Injil yang menerima kedatangan Jesus dalam rumahnya.
Teh susu, atau kopi susu segar adalah minuman utama setiap hari. Namun keluarga itu tidak mempunyai persedian susu, bagaimana mungkin, karena kulkas juga tidak punya. Dan susu segar tidak bisa didiamkan untuk beberapa waktu. Maka dengan kepala mata, kami menyaksikan si ibu tuan rumah memeras susu dari kerbau yang ikut 'jagongan' bersama kami. Merasa cukup mendapat susu yang dibutuhkan, langsung lari ke dapur. Direbus beberapa menit, dicampur teh.....dan disuguhkan kami. He.....nikmat, hanya sayang bahwa sejak kecil perut saya tidak pernah mengenal susu, sehingga saya tidak bisa menikmati susu segar dari kerbau itu.
Setelah perjalanan setengah jam, akhirnya saya sampai di desa itu. Desa kecil yang padat dengan penduduk, dan semua penduduknya adalah beragama Katolik. Keadaan seperti ini biasa didesa-desa di India. Sekampung beragama Hindu atau katolik, atau dari kasta yang sama. Ada Gereja Paroki yang megah dan besar, namun temboknya sudah pecah-pecah dan atap gentingnya pun sudah pada bocor sana-sani. Romo paroki membiarkan itu semua terjadi, bukan karena mereka tidak mau membangun Gereja itu. Tetapi keberadaan Gereja yang hampir rubuh itu mempunyai ceritanya sendiri. Ternyata Gereja itu menjadi saksi perkelahian antar kasta dari warga paroki itu. Konflik kasta diantara penduduk yang beragama Katolik membuat Gereja itu terlantar. Pernah pihak keuskupan dan beberapa tokoh setempat merencanakan membangun Gereja itu. Semua material sudah siap, tetapi diprotes oleh umat. Dan akhirnya semua bahan bangunan itu diambil lagi dari komplek Gereja. Terlalu panjang diceritakan disini, tetapi walaupun mereka itu sudah beragama Katolik, namun perbedaan kasta dan perlakuannya masih tetap mendarah daging diantara mereka. Bahkan bukan cerita baru, bila ada Romo dari kasta tinggi dan terpaksa harus mengunjungi umatnya dari kasta rendah, tak menyentuh minuman yang dihidangkan oleh tuan rumah.
Saya mendapat sambutan hangat dari Frater yang sedang menjalani tahun orientasi. Dan dipersilahkan untuk nginap di pastoran. Saya pingin sekali tinggal dirumah frater itu, tetapi ternyata tidak mungkin. Saya harus tinggal di pastoran, karena di rumah frater itu tidak ada tempat. Terlalu sederhana rumahnya, tidak ada kamar tidak ada tempat untuk sekedar membaringkan badan. Gubuk sederhana adalah rumahnya. Selama sehari semalam saya tinggal diparoki itu.
Pertama-tama yang kami lakukan adalah mengjungi keluarga frater kami. Saya pikir ada disekitar komplek pastoran. Tetapi untuk sampai desa itu ternyata masih harus ditempuh dengan jalan kaki sejauh dua kilo meter. Rumahnya pun ada ditengah-tengah sawah. Pematang sawah menjadi jalan menuju kampung halaman frater itu. Jauh dari sederhana kondisi kampung itu. Namun keramahan tuan rumahnya membuat hati ini merasa sejuk dan diterima. Wajah-wajah jernih dan polos, selalu menampakkan senyum murni, jauh dari kepalsuan. Inilah rumah 'saudaraku' calon-calon penerus kongregasi masa depan. Jauh dari layak, miskin harta, tetapi kaya iman, harapan dan kasih. Bahasa selalu menjadi masalah, tetapi karena ada frater, maka semua menjadi mudah. Ada penterjemahan. Namun demikian tidak menjadi penghalang bagi kami untuk merasakah 'kehangatan' persaudaraan. Cukup lama kami tinggal di rumah itu, dan akhirnya menjelang malam kami meninggalkan rumah itu. Bertemu dengan beberapa calon seminarian terjadi malam hari. Mengunjungi rumah mereka, juga menjadi bagian dari misi kami.
Kehadiran kami di rumah mereka, membuat orang tuanya menjadi mantap untuk merelakan dan melepaskan anaknya mengikuti jejak kami. Dari paroki yang cukup banyak menghasilkan panggilan kami mendapatkan tiga anak yang kami nilai memenuhi syarat untuk calon seminari tahun mendatang. Mereka akan datang dalam 'Vocation Camp' dan dari situ kami akan menyeleksi apakah mereka qualified atau tidak. Roh Kudus memegang peran dalam penentuan ini.

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (2)

Saya mempunyai pengalaman yang unik di pemberhentian bus ini. Keinginan saya untuk menikmati enaknya sarapan pagi menjadi tidak terpenuhi. Saya tidak tahu bahwa waktu bus berhenti begitu singkat dan tidak bisa ditawar-tawar. Frater kami mengatakan bahwa bus akan berhenti di restoran itu selama 15 menit. Maka didorong oleh perut kosong yang minta diisi, langsung menuju restoran untuk pesan sarapan. Saya tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang sempti ini. Saya pingin menikmati sarapan istimewa dipagi yang cerah ini. Maka kami memesan 'Dosha Rose paper' untuk sarapan istimewa itu. Bau enaknya makanan sarapan ala India ini sudah tercium dihidung saya. Tak saya duga bahwa waktu yang dibutuhkan untuk membuat dosha ini termasuk cukup lama. Sementara itu waktu istirahat berjalan dengan cepat. Satu persatu para penumpang bus selesai breakfast mereka dan kembali ke bus. Sementara pesanan kami belum juga muncul. Setelah sedikit agak gelisah, akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga.
Ketika kami sedang asyik menikmati dosa itu, sopir dan kondektor teriak-teriak dalam bahasa yang sama sekali tidak saya mengerti. Bus mulai meraung-raung memamerkan suara mesin, tanda siap berangkat menjelejahi sisa perjalanan yang masih harus kami tempuh. Karyawan restoran merayu supir bus untuk menunggu kami barang satu atau dua menit. Mereka menunggu, dan kami dengan tergesa-gesa menelan dosha itu, tetapi tetap tidak selesai. Kami berlari menuju ke bus. Dua frater langsung ke naik dan duduk ditempatnya masing-masing. Tetapi saya tidak, karena perut saya tidak bisa diajak kompromi, saya harus kencing. Saya langsung pergi ke WC dekat bus berhenti. Tetapi tanpa saya duga bus langsung tancap gas dan meninggalkan saya sendirian di situ.
Sontolo, sopir edan!! umpat saya ketika itu. Terhenyak sendirian sejenak, rasa kuatir menyelimuti diri saya. Bukan takut hilang, atau tidak tahu harus pergi ke mana, tetapi saya kuatir akan tas saya yang ada didalam bus itu. Sungguh, saya takut kalau tas itu hilang. Di dalam tas itu semua dokumen resmi saya tersimpan. Kalau tas itu sampai hilang, penjara akan menjadi tempat saya tinggal. Paspor dan visa saya, ditambah uang sangu ada disitu.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba salah satu frater yang berjalan mendekati saya sambil tersenyum. Ketika dia menyadari dan tahu bahwa saya tertinggal dari bus, maka dia turun dari bus. Dan satu frater terus mengikuti jalannya bus itu. Mereka telah membuat kesepakatan untuk behernti di tempat yang sudah kami setujui. Akhirnya dengan mengambil bus yang lain kami melanjutkan perjalanankan kami. Untung Tuhan masih menyertai kami, sehingga saya tidak hilang dijalan, terutama barang-barang berharga saya itu masih tetap setia bersama kami.
Perjalanan menuju tempat berhentinya bus tidaklah lama. Sekitar setengah jam dari pemberhentian bus itu. Loncat turun dari bus, frater yang satunya sudah menunggu disitu. Syukur....semua selamat, puji hati saya kepada sang Pencipta. Saya pikir kita sudah sampai tujuan. Tetapi ternyata untuk sampai di desa tempat frater itu, kami itu masih harus berjalan lagi sejauh tujuh kilo meter dari jalan raya. Dengan naik autoriskshaw atau bajaj kami menyesuri jalan desa yang indah dengan tanaman padi menghijau. Udara segar pagi itu menyambut kedatangan kami. Bau 'tahi kerbau' menjadi aroma sepanjang jalan.
Sopir geblek!! umpat hati saya, ketika autorickshaw yang saya tumpangi menabrak motor yang berhenti dijalan. Tidak heran, orang India memang enggak 'punya udel' berhenti dijalan seenaknya sendiri. Enggak pernah berpikir bahwa itu jalan umum ada orang lain yang melewati jalan yang sama. Tidak hanya itu saja, tidak jauh dari tempat itu segerombolan sapi mengeblok seluruh badan jalan yang sempit. Mereka berjalan bak raja dan ratu yang tidak peduli bahwa ada orang lain lewat.
Gedobrak, wuahhh!! lagi bajaj itu menabrak sapi yang sedang konvoi di jalan itu. Sontoloyo....sopir geblek enggak mau main rem, nylonong terus. Orang India itu memang aneh, walaupun peristiwa seperti itu terjadi, mereka tetap diam, enggak protes, enggak ngomel atau mengumpat, nrimo. Uh..sebel...sarapan enggak sampai tuntas, ditinggal bus dan sekarang bajaj dua kali numbur motor dan sapi. Nasiiip.....!!!

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (1)

(Refleksi perjalanan ‘vocation camp ke Tamil Nadu)

Bulan-bulan menjelang Paskah adalah bulan yang cukup sibuk. Baik bagi para pelajar yang akan menghadapi ujian akhir semester atau pun bagi para kaum religious dan konggregasi untuk memulai aksi 'menebar jala' menangkap 'ikan' panggilan. Demikian pula yang terjadi dengan saya. Berbekal para frater yang telah bergabung lebih dalam kongregasi, lewat bahasa lidah ibu mereka kami berjalan dari kota ke desa untuk bertemu, berkenalan dan bersanjang ke rumah para calon seminarist kami. Hal yang demikian tidak hanya dilakukan oleh kongregasi kami, tetapi ini merupakan aksi panggilan bagi kongregasi yang tidak mempunyai basis paroki.
Inilah kegiatan yang di India lebih dikenal dengan nama "Vocation Camp". Kegiatan ini menjadi perlu, karena sistim pendidikan seminari di India sangat berbeda dengan sistim pendidikan ditempat-tempat lain. Sejak seorang murid menyatakan dirinya ingin menjadi seorang 'biarawan-imam atau biarawati', maka saat itu pula dia terikat pada kongregasi atau keuskupan dimana dia ingin mengabungkan dirinya. Seluruh proses pendidikan sudah diwarnai dan ditentukan oleh tempat dimana mereka tinggal. Kunjungan kepada keluarga para calon seminarist juga merupakan bagian yang sangat penting dalam proses formatio. Dengan mengenal lebih 'dekat' dan jelas latar belakang para calon, membantu kita lebih mudah mendampangi mereka dalam proses menjawab panggilan Allah ini.
Saya menyadari hal yang demikian jarang dilakukan oleh para formator di Indonesia. Paling tidak itulah yang saya alami, selama menjalani proses pendidikan tak satu pun 'guru' atau romo yang mengunjungi keluarga kami. Hal ini terjadi karena para formator lebih mengandalkan dan mempercayakan para calon kepada para pastor paroki yang mereka kenal.
Hal inilah yang membuat beberapa hari yang lalu saya tidak ada di rumah. Dari tanggal 23 January 2002 sampai dengan tanggal 28 January 2002 saya pergi ke Tamil Nadu untuk mengunjungi keluarga para frater dan juga untuk mengadakan 'mini vocation camp'. Bersama dengan dua frater dari Tamil Nadu, kami berangkat dari Aluva tgl 23/1/02 naik kereta api ke Madras. Semalam suntuk waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Madras Center.
Pagi hari sekitar jam 7.30 suara raungan lokomotif berhenti menjalankan tugasnya. Berjejal dengan ribuan orang di station besar kereta api menebus kabut tipis dan merasakan dinginnya udara pengap kota Madras, saya mengawali hari baru. Sementara itu ribuan para gelandangan masih tertidur lelap berbalut selimut kumal, sambil memeluk mimpi dan harapan hari itu.
Perjalanan saya tidak berhenti di Madras Center. Untuk sampai tujuan, kami masih membutuhkan tiga jam. Tawar-menawar dengan sopir autorickshaw adalah awal kegiatan pagi itu. Namun terpaksa dibatalkan karena sopir meminta bayaran sepuluh kali lipat dari harga semestinya. Tentu saja kami hanya tersenyum, karena frater orang Tamil tahu persis berapa harga yang harus kami bayar untuk sampai di station bus antar kota. Ketika kami sedang tawar menawar bus kota datang menawarkan kebaikannya. Langsung loncat ke bus, membuat sopir menjadi kecewa, karena mangsa diawal pagi itu lepas. Sementara itu bus langsung menuju ke kota tanpa kompromi lagi.
Sampai di stasiun bus kota kami mendapatkan bus menuju desa yang akan kami tuju dengan sangat mudah. Inilah India, walaupun fasilitas transportasi umum jauh dari layak, namun sistimnya cukup teratur dan membuat penumpang pun merasa aman. Karena tidak ada kegiatan tawar menawar dan tarik-menarik para calo bus. Dengan naik bus ala India yang jauh dari rasa nyaman, di kedinginan pagi itu, kami pergi ke daerah utara Tamil ke tempat rumah tinggal salah satu frater kami. Dengan perut kosong, kami terus mengikuti jalannya bus dijalan raya yang cukup mulus dan bagus menuju desa K.K Pudur. Sungguh perjalanan pagi yang lenggang, karena roda kehidupan belum mulai. Biasanya jalan-jalan penuh dengan mobil, truck rickshaw, semrawut tanpa aturan. Bahkan badan jalanpun tidak ada yang kosong, karena dipenuhi dengan pejalan kaki.
Setelah perjalanan kurang lebih dua setengah jam dari pusat ibu kota Tamil Nadu, akhirnya bus berhenti ditempat pemberhentian bus. Mereka memberikan kesempatan kepada penumpang untuk sarapan pagi atau buang air kecil. Tak terkecuali saya, langsung turun dari bus dan menuju restoran yang ada tidak jauh dari bus parkir. Perutku sudah keroncongan, karena kemarin sore hanya diisi tiga keping kecil porotta dengan chicken masala. Maklum restoran sederhana di kereta selalu pelit membagi makanannya kepada para penumpangnya. Inilah kesempatan untuk menikmati sarapan lebih tenang dan nyaman, pikir saya. Tetapi apa yang terjadi.....sungguh diluar dugaan saya.

VALLARPADATHAMMA

Oktober adalah bulan rosario bagi umat Katolik. Selama satu bulan, banyak kegiatan rohani diadakan untuk memberi perhatian khusus kepada Bunda Tuhan. Banyak umat Katolik yang berjiarah ditempat yang dikhususkan untuk menghormati Bunda Maria. Dalam rangka menutup bulan rosario ini, kami para frater mengadakan jiarah "National Shrine of Vallarpadathamma" yang baru saja diresmi oleh uksup Verapoly, Dr. Daniel Acharuparambil.
Lokasi tempat jiarah ini tidak jauh dari kota Ernakulam, kota administrasi dan perdagangan yang terbesar di Kerala State, hanya tiga kilo meter dari pusat kota. Lokasi tempat jiarah national ini berada di pulau kecil Vallarpadam, diapit oleh dua pulau Vypen dan Ponnnarimangalam. Sebelum adanya jembatan baru yang menghubungkan tiga pula ini menjadi satu, tempat jiarah ini sangat terasing. Untuk mencapai tempat ini dibutuhkan 'jetty' dan harus melalui jalur berputar, Vypen dan kemudian ke pulau ini. Waktu yang dibutuhkan kurang lebih satu setangah jam. Karena sulit untuk ditempuh, maka tempat ini menjadi tidak banyak dikunjungi para pejiarah, walaupun sebenarnya tempat ini mempunyai nilai sejarah yang sangat penting. Dengan adanya jembatan baru, perjalanan ke lokasi bisa ditempuh dengan mudah, hanya membutuhkan waktu 20 menit dengan jalan kaki.
Dalam tatanan tempat jiarah, gereja Katolik mempunyai tiga kategori; pertama adalah 'international shrine'; kedua adalah 'national shrine' dan yang terakhir adalah 'state atau local shrine'. Lalu, mengapa tempat ini disebut "national shrine"? Adakah sesuatu yang istema ditempat ini, sehingga mendapat katogeri sebagai tempat jiarah national yang diakui oleh pemerintah federal India?
Dari sejarah singkat yang ditulis dalam tembok memori ditempat ini, dkatakan demikian;
Pada tahun 1524, para romo misionaris dari Portugal membangun gereja di pula kecil Vallarpadam, yang didekasikan kepada Roh Kudus. Di gereja itu ditempatkan pula gambar Bunda Perawan Maria. Inilah satu-satu gereja di Asia yang didekasikan kepada Roh Kudus. Namun gereja ini hancur total karena banjir yang melanda pulau itu. Hal itu terjadi pada tahun 1676. Sang maharaja kerajaan Cochin, Paliath Raman Menon Valiachan menemukan kembali gambar suci bunda Maria diantara puing-puing akibat banjir. Kemudian beliau memberikan sebidang tanah untuk membangun gereja, dan menganurgerhi hadiah 'lampu Tuhan' serta memberikan kembali gambar bunda Maria kepada umat setempat. Pada tahun 1752 terjadi suatu mukjijat, seorang ibu bernama Pallivettil Meenakshiamma dan anaknya diselamatkan dari ambang kematian karena doanya kepada Bunda Maria (Vallarpadathamma). Kemudian dia berikrar diri untuk menjadi 'abdi' 'adima' Bunda Maria selama hidup. Praktek rohani penyerahan diri secara total pada perlindungan Bunda (menjadi abdi Bunda) inilah awal dari devosi yang akhirnya menjadi sangat popular ditempat ini. Karena terkesan dengan praktek devosi ini, pada th 1888 Paus Leo XIII mendirikan altar utama di gereja Vallarpadam dengan memberi nama "Altar Previlegiatum in Perpetuum'
Karena nilai sejarah yang terkandung, pada tahun 1951 pemerintah India menyatakan bahwa Gereja Vallarpadam menjadi 'Major Pigrim Center of the Country'. Maka dilindungi oleh undang-undang sebagai harta negara, warisan sejarah yang sangat berarti. Dan akhirnya pada tgl 12 September 2004 yang lalu, pada hari ulang tahun perpindahan pusat pastoral keuskupan agung Verapoly, dari pula Verapoly ke pusat kota Ernakulam, 'shrine Vellarpadathamma dikukuhkan sebagai pusat jiarah national.
Tempatnya tidak istimewa, bahkan terkesan sederhana. Namun demikian, bagi umat Katolik di keuskupan ini, gereja ini mempunyai arti yang istimewa. Setelah diresmikan sebagai tempat jiarah national, banyak orang berduyun-duyun untuk mengalab berkah. Dalam hal yang demikian India memang sangat luar biasa dan tiada bandingannya. Kehidupan devosi umat sangat kuat. Panguruh budaya dan tradisi Hindu sangat dalam praktek hidup kekristenan. Memperhatikan bagaimana umat pejiarah mengungkapkan keyakinannya, menjadi pemandangang yang indah untuk disyukuri.
V. Teja AntharaKerala - India

Friday, February 24, 2006

ZIARAH SALIB


Setiap tahun pemandangan yang mengharukan, sekaligus menyejukkan hati ini selalu terjadi di National High Way 47 di Kerala. Sebarisan orang berpakain warna orange berjalan memanggul salib. Satu kelompok bisa beranggotakan lima sampai puluhan orang. Dengan memakai pakaian ala 'saniasi' dengan 'lunggi atau mundu' sebagai pengganti celana, dan 'jubah' sebagai pakaian atas, mereka berjiarah salib menuju St. Thomas Mountain. Saya tidak tahu kapan kebiasaan ini telah dimulai, tetapi yang jelas pemandangan seperti ini setiap hari akan kita jumpai di jalan raya itu. Terutama di hari minggu suci. Mereka berjalan dari tempat asal mereka dengan membawa salib mereka masing-masing. Dari antara salib-salib ukuran kecil, satu diantaranya adalah salib besar yang dipanggul secara bergantian. Dia yang memanggul salib besar berjalan didepan sebagai pemimpin barisan. Jarak perjalanan jiarah ini sangat tergantung dari tempat paroki dimana mereka berada. Bisa jadi jiarah ini menempuh jarah dari 75 sampai 100 kilo meter untuk sampai ditujuan. Mereka ini tidak hanya berjalan kaki dan memanggul salib, tetapi sepanjang jalan mereka memuji Tuhan, berdoa rosario atau meneriakkan 'yel-yel' kemulian Tuhan.

Siapakah mereka itu. Mereka adalah orang-orang 'awam' yang menggabungkan diri dengan teman-teman dari asal mereka yang sama, mempunyai intensi khusus untuk merayakan minggu suci di St. Thomas Mountain. Selain bahwa mereka mempunyai intensi khusus selama masa puasa ini, jiarah ini juga merupakan suatu bentuk solidaritas mereka akan kesangsaraan Jesus. Mereka ini melakukan 'mati raga' ketat sesuai dengan 'kualitas' intensi atau permohonan sebelum mengadakan jiarah. Praktek yang demikian menjadi kebiasaan orang katolik India. Seperti halnya kebiasaan orang-orang Hindu yang sangat dipangaruhi oleh 'aspek mistik' yang cukup kental. Selama perjalanan ini mereka tidak akan berhenti untuk beristirahat, minum atau makan, mereka akan berhenti bila sudah sampai ditempat tujuan. Apa pun yang terjadi, mereka akan terus berjalan tanpa pantang menyerah. Kesengsaraan yang mereka alami selama perjalanan jiarah dianggap sebagai berkah.

Mengapa mereka berjiarah ke St. Thomas Mountain, adakah sesuatu yang istimewa ditempat ini? St. Thomas Mountain terletak kurang lebih 40 kilo meter arah barat daya dari kota Ernakulam. Tempat ini adalah suatu daerah berbukitan terletak didesa Malliatoor. Dinamakan St. Thomas mountain, karena menurut leganda umat setempat, St. Thomas rasul pernah berkotbah di bukit ini. Bukti yang diyakini oleh mereka adalah 'bekas dua telapak kaki' yang tergores dibatu besar. Memang betul ditempat ini ada jejak dua telapak kaki diatas batu. Apakah itu sungguh milik St. Thomas, tak seorang pun mengetahui, tetapi umat meyakini demikian. Bagaimana St. Thomas bisa sampai ditempat ini? Tidak jauh dari tempat ini ada sungai yang sangat besar dan dianggap suci oleh orang Kerala, yakni Sungai Periyar. Melalui sungai inilah kemungkinan St. Thomas bisa sampai di Malliatoor. Sungai ini bermuara di Lautan Arabia di dekat Paravoor yang menjadi tempat pertama St. Thomas berlabuh dan membaptis puluhan para brahmin yang menjadi cikal bakal orang-orang Kristen di Kerala. Penduduk setempat pun mayoritas beragama Katolik dari ritus Syro Malabar. Peninggalan St. Thomas ini masih bisa dilihat dan dijaga rapi oleh penduduk setempat sebagai peninggalan sejarah yang mempunyai arti besar dalam hidup mereka.

Selama minggu suci, tempat ini menjadi semacam 'pasar malam' yang sangat meriah. Puluhan ribu umat dari berbagai daerah di sekitar Kerala datang berjiarah ketempat ini. Mereka merayakan Ekaristi bersama dengan para pejiarah lain. Untuk sampai ditempat dimana telapak kaki St. Thomas berada, kita harus mendaki gunung itu. Lumayan tinggi dan terjal, penuh batu-batu tajam dan jurang kecil. Mereka sengaja tidak membuat jalan ke atas bukit, seperti layaknya ditempat jiarah lainnya, karena hal ini mempunyai maksud supaya umat mengalami sulitnya untuk mencapai puncak bukit ini. Ini menjadi semacam lambang perjalanan hidup manusia. Kesengsaraan Kristus adalah teladan hidup manusia. Barang siapa ingin menikmati kemuliaan, satu-satu jalan yang harus dilalui adalah Salib.

Inilah sebabnya, mengapa umat yang mempunyai intensi khusus mengadakan jiarah salib dengan jalan kaki ketempat ini. Sesampainya dipuncak bukit ini, mereka bergabung dengan pejiarah lain, berdoa, berpuasa, 'nenepi atau tuguran semalaman'. Bila dianggap cukup mereka akan turun gunung, meninggalkan salib yang mereka bawa ditempat yang disediakan diatas bukit itu dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Kepuasaan batin, kebahagiaan hati merupakan buah mati raga, doa, amal dan solidaritas mereka selama masa puasa. Hidup baru penuh harapan menjadi masa depan yang mereka nantikan.

Inilah keunikan India, sekaligus suatu kekayaan rohani yang mungkin hanya bisa ditemukan di negara miskin, tetapi sangat kaya dengan kehidupan rohani ini. Saya tidak habis-habisnya bedecak kagum, memandang mereka yang dengan penuh semangat dan pengorbanan memanggul salib mereka menuju puncak St. Thomas. Dan bibir saya selalu berucap berkatilah mereka Tuhan, dan dengarkan permohonan mereka.

Shalom and Love
MoTe van Kerala