Saturday, February 25, 2006

LOURD MATA MANDIR

Satu hal yang tidak bisa dilupakan bila kita ingin mengenal kehidupan sosial dan masyarakat di India adalah perpaduan harmoni antara kehidupan kongkrit dan ritual keagamaan. Dengan kata lain, bahwa kehidupan masyarakat India selalu berkaitan erat dengan pesta, baik itu pesta masyarakat maupun pesta keagamaan. Ada tiga hal yang selalu menyertai peristiwa pesta, yakni, perayaan, makan dan perarakan atau prosesi. Suatu pandangan yang biasa kita temui di mana-mana, bila ada pesta, selain dekorasi lampu-lampu hias yang luar biasa, mereka selalu melengkapinya dengan perarakan. Baik itu yang bersifat kecil, maupun yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang.
Sejak tanggal 6 sampai dengan 15 Februari yang lalu saya pergi mengelilingi beberapa kota di India bersama dengan Rm. Martin van Ooy, superior district SCJ di India. Seorang warga kelahiran Belanda, namun telah lama menjadi warga negara Indonesia, dan sangat bangga dengan kewarga-negaraannya yang kedua ini.Perjalanan ini lumayan penting bagi misi kehadiran kongregasi kami di masa depan. Pada tanggal 6 pagi kami berangkat ke Mombai dengan kapal terbang, lalu dilanjutkan ke Bhopal. Mendengar kata Bhopal, pasti teringat dalam benak kita peristiwa tragis bocornya radiator nuklir beberapa tahun yang lalu, yang memakan korban ribuan jiwa itu. Bhopal yang menjadi ibukota Madhya Pradesh ini, ternyata kota yang indah. Kotanya berada didaerah perbukitan dan danau, maka tidak heran bahwa Bophal menamakan dirinya sebagai "The Town of Lakes". Di sana kami mengunjungi para frater novis kami yang sedang menjalankan semacam tahun orientasi pastoral dan belajar bahasa Hindi. Mereka kami titipkan pada pendampingan romo projo setempat. Selama tiga hari kami bersama mereka. Ini juga menjadi kesempatan bagi kami untuk mengevaluasi mereka sebagai persiapan untuk kaul pertama mereka.
Dari Bhopal kita melanjutkan perjalanan ke Nagpur. Pada tgl 8 Februari kami meninggalkan Bhopal, dan kembali lagi ke Mumbai, karena tidak ada plane langsung ke Nagpur. Di Nagpur kami mengadakan kunjungan ke Seminari St. Charles dan mencari kemungkinan rumah sewa untuk dijadikan 'theological residence' bagi para frater kami. Dalam assembly bulan Desember 2002 yang lalu kami memutuskan bahwa untuk tingkat teologi, kami akan mengirim para frater kami dan bergabung dengan pendidikan calon imam yang diasuh para romo Dominican disini. Kami telah mempunyai skolastikat di Kerala, sementara seminari tinggi pun hanya ada disamping rumah kami. Mengapa kami meninggalkan Kerala dan pergi ke North? Alasan utama kami adalah bahwa karya kehadiran kami di India di masa depan akan lebih berkarya ditengah-tengah orang-orang miskin dan terasing, serta ikut berjuang dalam bidang 'justice and peace and integration of the Creation'. Daerah selatan tidak lagi memerlukan kehadiran kami. Ratusan kongregasi sudah berada di sana, ratusan imam berkarya di beberapa keuskupan di Kerala, baik mereka yang berasal dari Ritus Latin, Syro Malabar maupun Syiro Malangkhara.
Kami sampai di Nagpur jam 9.30 malam. Dua romo dari kongregasi Domikus telah menunggu kami di lapangan terbang yang relatif baru dan bersih ini. Perjalanan kami ini lumayan lama dan jauh, dari perjalanan dari Cochin ke Bombai memakan waktu kurang lebih 2 jam, demikian pula dari Bombai ke Bhopal. Lalu dari Bombai ke Nagpur memakan waktu kurang lebih 1.30 menit. Bila ditempuh dengan naik kereta api akan memakan waktu berhari-hari. Banyak pengalaman berharga saya peroleh di Nagpur, pertama-tama kehadiran kami disana disambut dengan pesta umat dalam rangka memperingati hari "Our Lady of Lourd". Kedua bahwa misi kami untuk mencari kemungkinan rumah sewa untuk para frater tingkat teologi kami sangat di mungkinkan. Karena institusi mempunyai rumah yang cukup untuk kebutuhan kami yang disewakan bagi mereka yang membutuhkan. Rumah itu sekarang ini sedang kosong, beberapa bulan yang lalu ditempat oleh Suster Gembala Baik, namun karena mereka sudah mempunyai rumah sendiri, maka mereka meninggalkan rumah itu dan dikembalikan kepada Institusi Seminari. Selain itu, kemungkinan kami untuk bisa mengirim para frater kami bergabung di Seminari ini semakin dimungkinkan. Perjumpaan kami dengan uskup dan rektor seminari memberi tanda dan angin segar yang menggembirakan. Bahkan ketika uskup agung bertanya mengenai kehadiran kongregasi kami dan masa depannya, bahwa kami akan berkarya di North of India, melayani mereka yang miskin dan membutuhkan, berjuang bersama mereka dalam bidang keadilan dan perdamaian, beliau memberi respon yang positif; 'that is plus poit of your presence here".
Kehadiran kami dalam pesta tahunan Bunda Maria dari Lourdes juga merupakan kisah tersendiri. Saya yakin bahwa Bunda Maria tersenyum melihat banyaknya umat yang hadir dalam perayaaan itu. Apa yang terjadi di Lourd Mata Mandiri....?
Lourd Mata Mandir adalah bahasa Hindi yang berarti Bunda Maria dari Lourdes, atau Our Lady of Lourd. Ini adalah sebuah tempat jiarah bunda Maria yang berada di Keuskupan Nagpur. Tempatnya ada di Seminary Hills, di komplek seminari dan biara yang berada ditengah kota Nagpur. Lokasinya ada dibelakang Seminari St. Charles, satu komplek dengan gedung seminari dan rumah biara dari beberapa kongregasi. Tempat ini menjadi tempat jiarah Maria yang lumayan terkenal di keuskupan itu. Tidak ada guanya, tidak ada sendangnya, yang ada hanyalan 'grotto' atau bangunan kecil tempat patung Bunda Maria dari Lourdes disimpan. Tempatnya ada di lereng bukit yang dilindungi oleh rindangnya berbagai macam pohon besar. Tempat ini memang sangat nyaman untuk berdoa dan bersantai dalam hening sambil menikmati segarnya angin diperbukitan yang dilindungi oleh negara ini.
Kami tidak tahu bahwa pada waktu kedatangan kami di Nagpur, mereka sedang merayakan pesta tahunan. Malam adalah malam Minggu saya melihat banyak sekali orang yang datang. Saya bisa melihatnya dari kamar tempat kami menginap dibiara seminari yang digembalakan oleh para Domicans ini. Puncak perayaannya adalah hari minggu pari tgl. 9 Februari 2003. Diperkirakan umat yang hadir dalam perayaan itu kurang lebih 25 ribu orang. Tidak terbatas hanya umat Katolik saja yang datang, tetapi banyak sekali umat dari agama-agama lain. Mereka berbondong-bondong hadir dalam tempat jiarah itu, berdoa menurut kepercayaan mereka, dan ikut ngalap berkah dari tempat yang dikuduskan ini. Hal yang demikian memang tidak asing di India, umat katolik pun sering kali juga datang dalam perayaan agama Hindu atau Islam.
Rankaian perayaan dimulai pada pagi hari, sekitar jam 06.00 pagi diadakan perayaan ekaristi dalam bahasa Inggris, selesai itu dilanjutkan dengan perayaan ekaristi dalam bahasa Marathi, bahasa setempat. Kemudian dilanjutkan lagi perayaan ekaristi dalam bahasa Konkani, bahasa daerah State of Goa, lalu disambung dengan misa bahasa Tamil, dari Tamil Nadu. Tidak ketinggalan pula misa berbahasa Telugu untuk umat yang datang dari Andhra Pradesh dan akhirnya misa dengan Catholic Syro Malabar Rites dengan bahasa Malayam, bahasa orang-orang Kerala. Misa dalam berbagai bahasa ini selesai pada jam 2.00 siang hari. Misa yang memakan waktu paling lama adalah misa dalam bahasa Malayam yang dipersembahkan dalam Syromalabar rites. Dua jam lebih mereka merayakannya, karena semuanya harus dinyanyikan dan selama itu tidak ada kesempatan untuk duduk, umat dan romo berdiri, kecuali pada saat homili.
Suatu hal yang sangat luar biasa dalam pesta tahunan ini adalah bahwa semua umat yang hadir dalam perayaan itu diberi makan. Makanannya memang tidak terlalu istimewa, tetapi bagi umat di sana sudah lebih dari cukup. Sebagaimana biasa dalam pesta-pesta keagaamaan hidangan yang disajikan adalah 'menu vegetarian food'. Mereka meyakini bahwa pada pesta kegamaan berkah akan melimpah bila mereka tidak membunuh binatang. Ada jenis makanan khusus untuk pesta-pesta keagamaan di India. Maka selain kesibukan umat yang berdoa 'ngalab' berkah kepada Bunda, kesibukan yang luar biasa juga terjadi di dapur umum. Mulai jam 11.00 dapur umum telah dibuka dan diperkirakan sebanyak umat yang datang mendapat jatah makan siang. Bisa dibayangkan betapa repot dan ramainya pesta itu. Puncak acara ditutup dengan misa akbar yang dipersembahkan oleh Uskup Agung Nagpur, Mgr. Abraham. Misa sangat meriah, tenang dan sakral. Puluhan imam bergabung dalam konselebrasi termasuk Rm. Martin dan saya. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Hindi.
Pesta, makan dan prosesi tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan imam umat di sana. Kalau ada pesta, pasti ada makanan dan ada perarakan, tampa tiga hal ini perayaan menjadi tidak lengkap. Satu syarat lagi adalah bunyi petasan yang menggelegar sebagai tanda dimulainya dan diakhirinya suatu acara pesta menjadi tanda besar dan kecilnya pesta itu. Semakin besar dan lamanya mercon berbunyi, berarti panitia mempunyai banyak uang dan pesta semakin besar. Demikian pula yang terjadi setelah perayaan ekaristi. Setelah misa dilanjutkan dengan prosesi atau perarakan. Kita bayangkan betapa ramainya prosesi itu. Hampir seluruh umat yang hadir turut dalam peraarakan keliling komplek, kurang lebih tiga sampai empat kilo meter jauhnya. Semua jalan raya yang kami lalu diblok dan banyak polisi ikut ambil bagian dalam mengamankan jalannya perarakan ini.
Perarakan selesai, bukan berarti perayaan juga telah usai. Dilanjutkan dengan upara penghormatan 'patung yang diarak'. Umat berduyun-duyun datang untuk menyentuh patung itu dan membawa berbagai macam persembahan, terutama bunga. Inilah keunikan umat India. Mereka mempunyai kebiasaan devosi yang sangat kuat. Bagi yang tidak pernah hidup bersama mereka, mungkin mereka tidak akan merasa 'sreg' karena ada berbau tahayul. Tetapi itulah kenyataan, mereka tidak bisa memisahkan kehidupan iman mereka dari budaya mereka berasal, agama Hindu. Sampai kurang lebih jam 10.00 malam 'acara ini berlangsung, setelah itu sepi, namun masih banyak umat yang 'lek-lekan' hingga pagi ditempat ini.
Acara baru berakhir pada tgl 11 Februari, namun kami tidak mengikuti upacara penutup, karena kami harus melanjutkan perjalanan kami ke Guntur Andhra Pradesh.
Berangkat dari Nagpur siang hari, naik Kereta api, dan sampai di Vidyavada tengah malam. Dua romo dari seminari kami sudah menjemput kami di station setempat. Hari berikutnya kami punya waktu sebentar untuk beristirahat. Sedangkan hari berikutnya, tgl 13 Februari kami mempunyai hari yang sangat berat, yaitu rapat dewan district. Selain kami menyampaikan laporan kunjungan misi kami untuk mencari rumah sewa di Nagpur, kami juga harus berbicara mengenai calon-colon novis tahun mendatang. Hari itu sungguh hari penuh berkat, namun juga berat, karena 'saya' ikut menentukan masa depan banyak orang. Ada 10 calon novis yang melamar, tetapi berapa yang akan diterima, masih menjadi rahasia kami.
Hari Jum'at sore kita pulang ke Kerela, dan sampai di Kerala atau tepatnya di rumah pada jam 1.30 siang hari. Sekarang ini masih lumayan capek, badan terasa greges semua. Namun demikian saya tetap merasa sehat, perlu pemulihan tenaga. Yang jelas tugas sudah menunggu lagi, karena para frater sekarang ini sedang sibuk mempersiapakan ujian mereka.
Inilah kisah perjalanan kecil, semoga sharing ini memperkaya pengalaman kita dalam mengikuti Dia di dunia penuh derita ini.

Fr. Teja Anthara SCJ

1 comment:

Austine J. Crasta said...

I didn't understand one bit of this language except for "Lourd Mata Mandir" which should mean "Church of our Lady of Lourdes". But then I was surprised to see you mention the "Konkani" language.

That was great and as a Priest I'm sure you'd like to visit the Konkani Catholics Blog