Saturday, February 25, 2006

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (3)

Sepanjang jala menuju ke desa yang saya tuju, saya selalu mengagumi indahnya pemandangan padi menghijau. Namun dibalik kekaguman itu, saya selalu merasa heran dan bertanya-tanya, bahkan protes dalam hati. Mengapa waluapun hijaunya padi seluas memandang itu tanda kemakmuran, namun orang-orang desa itu tetap miskin? Kemana larinya semua hasil panen itu. Rumah-rumah mereka tidak lebih baik dari 'kadang ayam'. Satu rumah gubuk beratap daun palem liar, tidak ada ruangan lain kecuali ruang dibawah atap. Semua kegiatan hidup dari masak sampai tidur, terjadi di dalam ruangan yang sama. Mereka akan tidur diluar rumah bila musim panas datang. Harta miliknya pun tidak lebih dari alat-ala masa sederhana dan baju-baju kumal yang biasa disampirkan disampiran rumah gubuk mereka. Tidak ada tv, tidak ada tempat tidur yang empuk, tidak ada kendaraan. Boleh dibilang punya, bila didekat tempat tidur mereka ada kerbau dan sapi. Kerbau adalah kekayaan yang paling berharga, karena dari kerbau inilah mereka bisa menikmati 'susu segar' dan yogurt atau bahasa setempat 'perugu'.
Berbicara mengenai susu kerbau saya punya pengalaman yang unik. Beberapa waktu yang lalu, dibulan Januari, saya berkesempatan untuk mengunjungi rumah salah satu frater di Andhra Pradesh. Kunjungan kami ini termasuk mendadak, karena kami tidak sempat memberitahu rencana kedatangan kami kepada frater. Saat itu adalah musim panen padi. Semua penduduk kampung sibuk disawah mereka. Dari pagi hari mereka bekerja keras, pulang sudah petang. Ketika kami sampai di rumah mereka, mereka baru saja datang dari sawah. Lagi duduk santai diamben besi yang ditempatkan didepan rumah gubuk mereka. Tentu saja melihat kedatangan kami dengan mobil taksi sewaan (mobil model India, kuno) membuat mereka kaget. Sebagai tuan rumah yang baik, yang ingin memberikan service terbaik bagi tamunya, seketika itu mereka menjadi sibuk. Persis Martha dalam Injil yang menerima kedatangan Jesus dalam rumahnya.
Teh susu, atau kopi susu segar adalah minuman utama setiap hari. Namun keluarga itu tidak mempunyai persedian susu, bagaimana mungkin, karena kulkas juga tidak punya. Dan susu segar tidak bisa didiamkan untuk beberapa waktu. Maka dengan kepala mata, kami menyaksikan si ibu tuan rumah memeras susu dari kerbau yang ikut 'jagongan' bersama kami. Merasa cukup mendapat susu yang dibutuhkan, langsung lari ke dapur. Direbus beberapa menit, dicampur teh.....dan disuguhkan kami. He.....nikmat, hanya sayang bahwa sejak kecil perut saya tidak pernah mengenal susu, sehingga saya tidak bisa menikmati susu segar dari kerbau itu.
Setelah perjalanan setengah jam, akhirnya saya sampai di desa itu. Desa kecil yang padat dengan penduduk, dan semua penduduknya adalah beragama Katolik. Keadaan seperti ini biasa didesa-desa di India. Sekampung beragama Hindu atau katolik, atau dari kasta yang sama. Ada Gereja Paroki yang megah dan besar, namun temboknya sudah pecah-pecah dan atap gentingnya pun sudah pada bocor sana-sani. Romo paroki membiarkan itu semua terjadi, bukan karena mereka tidak mau membangun Gereja itu. Tetapi keberadaan Gereja yang hampir rubuh itu mempunyai ceritanya sendiri. Ternyata Gereja itu menjadi saksi perkelahian antar kasta dari warga paroki itu. Konflik kasta diantara penduduk yang beragama Katolik membuat Gereja itu terlantar. Pernah pihak keuskupan dan beberapa tokoh setempat merencanakan membangun Gereja itu. Semua material sudah siap, tetapi diprotes oleh umat. Dan akhirnya semua bahan bangunan itu diambil lagi dari komplek Gereja. Terlalu panjang diceritakan disini, tetapi walaupun mereka itu sudah beragama Katolik, namun perbedaan kasta dan perlakuannya masih tetap mendarah daging diantara mereka. Bahkan bukan cerita baru, bila ada Romo dari kasta tinggi dan terpaksa harus mengunjungi umatnya dari kasta rendah, tak menyentuh minuman yang dihidangkan oleh tuan rumah.
Saya mendapat sambutan hangat dari Frater yang sedang menjalani tahun orientasi. Dan dipersilahkan untuk nginap di pastoran. Saya pingin sekali tinggal dirumah frater itu, tetapi ternyata tidak mungkin. Saya harus tinggal di pastoran, karena di rumah frater itu tidak ada tempat. Terlalu sederhana rumahnya, tidak ada kamar tidak ada tempat untuk sekedar membaringkan badan. Gubuk sederhana adalah rumahnya. Selama sehari semalam saya tinggal diparoki itu.
Pertama-tama yang kami lakukan adalah mengjungi keluarga frater kami. Saya pikir ada disekitar komplek pastoran. Tetapi untuk sampai desa itu ternyata masih harus ditempuh dengan jalan kaki sejauh dua kilo meter. Rumahnya pun ada ditengah-tengah sawah. Pematang sawah menjadi jalan menuju kampung halaman frater itu. Jauh dari sederhana kondisi kampung itu. Namun keramahan tuan rumahnya membuat hati ini merasa sejuk dan diterima. Wajah-wajah jernih dan polos, selalu menampakkan senyum murni, jauh dari kepalsuan. Inilah rumah 'saudaraku' calon-calon penerus kongregasi masa depan. Jauh dari layak, miskin harta, tetapi kaya iman, harapan dan kasih. Bahasa selalu menjadi masalah, tetapi karena ada frater, maka semua menjadi mudah. Ada penterjemahan. Namun demikian tidak menjadi penghalang bagi kami untuk merasakah 'kehangatan' persaudaraan. Cukup lama kami tinggal di rumah itu, dan akhirnya menjelang malam kami meninggalkan rumah itu. Bertemu dengan beberapa calon seminarian terjadi malam hari. Mengunjungi rumah mereka, juga menjadi bagian dari misi kami.
Kehadiran kami di rumah mereka, membuat orang tuanya menjadi mantap untuk merelakan dan melepaskan anaknya mengikuti jejak kami. Dari paroki yang cukup banyak menghasilkan panggilan kami mendapatkan tiga anak yang kami nilai memenuhi syarat untuk calon seminari tahun mendatang. Mereka akan datang dalam 'Vocation Camp' dan dari situ kami akan menyeleksi apakah mereka qualified atau tidak. Roh Kudus memegang peran dalam penentuan ini.

No comments: