Saturday, February 25, 2006

MENEBAR JALA, MENANGKAP IKAN PANGGILAN (5)

Setelah bus melaju cepat selama hampir dua jam, akhirnya berhenti di pemberhenti bus. Makan siang diberikan kesempatan kepada para penumpang. Pengalaman adalah guru yang bijak, kata pepatah. Maka karena sebelum berangkat sudah makan siang maka saya tidak mau makan di restoran terlalu sederhana ini. Yang jelas saya enggak mau ketinggalan bus lagi. Satu hal yang ingin saya buat ditempat ini, yang membuat saya langsung loncat keluar dari bus, adalah membuang sisa air tak berguna dar dalam perut saya. Toleh sana, toleh sini...kok enggak ada toilet. Sementara itu disamping bus, berdiri berjejer para lelaki membuat pancoran spontan.
Duh Gusti.....inikah toilet yang saya cari itu. Hal seperti sebenarnya bukan hal baru bagi saya, tetapi ditempat pemberhentian bus ini, aku enggak bisa ikut-ikutan mereka. Takut dilihat oleh penumpang bus yang berambut panjang. Terpaksa cari tempat yang agak jauh dari kerumunan, dan ditempat itulah saya mendapatkan 'kelegaan' badan. Dalam hal ini India memang sangat terbelakang. Di daerah Andhra Pradesh, WC ada di sepanjang sisi jalan kereta api atau ditanah kosong. Anehnya, walaupun ada sungai atau saluran air (ledeng) mereka tidak akan 'nongkrong' ditempat itu. Karena air itu mereka gunakan untuk mandi, untuk mencuci dan segala kebutuhan lainnya. Mereka tidak ingin mengotori air itu dengan kotoran mereka sendiri.
Setelah kurang lebih satu jam, tujuan pertama dari perjalan kami telah sampai. Vellore adalah kota yang lumayan besar. Dikota ini ada keuskupannya. Namun saya tidak mempunyai waktu untuk jalan-jalan. Dikota ini kami ganti bus yang menuju Tirupattur. Untuk melemaskan kaki yang sekian jam terpajang kaku diantara tempat duduk bus, saya jalan-jalan sebentar. Maksud hati ingin menghilangkan rasa dahaga dengan sekedar mencari ice cream. Tetapi sungguh aneh, di station bus yang begitu besar, saya tidak mendapatkan tempat yang nyaman untuk sekedar menikmati ice cream Tidak ada yang istemewa bisa dinikmati ditempat ini. Selain benteng besar yang tidak jauh dari station. Saya pun tidak tertarik untuk mengetahui benteng apa itu. Capeknya badan dan panasnya udara saat itu membuat saya tidak berminat untuk mengetahui situasi di situ. Sementara itu terpikir perjalan panjang yang masuk harus kami lalui. Tiga jam lagi waktu yang kami butuhkan kan untuk sampai tujuan kami. Setelah mendapatkan bus, dan duduk tidak lama menunggu bus berangkat meninggalkan station bus itu. Rasa kangen terhadap kampung halaman menjadi kembang khayalan saya saat itu. Berandai-andai sambil membayangkan diri, nikmatnya naik bus ber-AC atau naik mobil mewah yang hanya dalam impian belaka.
Rasa lelah seharian berjalan menjadi sirna, manakala bus yang saya tumpangi berhenti di sini. Tirupattur adalah kota kecil. Mempunyai station kerati api yang besar sekali. Di kota inilah saya akan meluangkan waktuku untuk menjalankan 'misi menjala ikan'. Selain itu, ini adalah kesempatan untuk berkunjung ke rumah keluarga salah satu dari frater kami. Saya tidak menduga bahwa di kota kecil ini ada sekolahan dan college yang cukup terkenal. Dominico Savio, Don Bosco College, dari namanya sudah jelas bahwa institusi pendidikan ini ada dalam palayanan para imam dan bruder ordo Salesian. Memang Tirupatur adalah tempatnya para romo Salesian berkarya. Sungguh kekaguman saya muncul atas karya besar dibidang pendidikan yang para iman Salesian perbuat. Komplek sekolahan dan college menjadi 'tanda' bahwa kongregasi ini sungguh kaya. Puluhan hektar tanah menjadi lokasi komplek itu. Dan komplek itu berada di dalam kota. Bisa membayangkan berapa harga tanah itu bila dibeli pada jaman sekarang ini. Sungguh bukan 'barang' yang murah.
Dibalik kekaguman akan karya mereka, tersirat rasa sedih di hati saya. Terutama mengingat banyaknya orang miskin yang tidak mempunyai tanah. Mereka mendirikan gubuk dipinggir-pinggir jalan. Sewaktu-waktu bila ada pemerintahan gubuk tempat mereka berlindung itu akan digusur tanpa kompromi. Gereja ini adalah gereja kaya yang mempunyai banyak fasilitas dan harta milik. Penghayatan bahwa Gereja adalah bagian dari kaum miskin dan memihak kepada mereka, sulit untuk dibuktikan. De fakto, gereja disana, baik yang berada dalam naungan religius institusi maupun diocesan menunjukkan bahwa mereka adalah 'tuan tanah dan boss'. Maka tidak mengherankan kalau mentalitas, atau spiritualitas Gereja adalah tubuh Kristus sulit untuk mendapat tempatnya dalam penghayatan hidup mereka. Tanggung-jawab umat terhadap kehidupan Gereja menjadi sangat kecil dan sulit untuk berkembang. Keterlibatan umat dalam pembangunan dan kehidupan Gereja menjadi sangat langka bila diukur dari 'tanggung jawab pribadi' atas konswensi dari panggilan iman. Banyak orang datang ke Gereja bukan untuk memberi apa yang menjadi tanggung-jawabnya, tetapi meminta sesuatu karena Gereja memang punya. Tidak disangkal bahwa banyak pula aktifitas sosial yang memihak kaum miskin. Tetapi secara sepintas hal demikian sulit untuk dilihat. Kesan paling dalam bahwa Gereja itu kaya. Lihatlah bangunan Gereja selalu megah dan indah, walaupun berada ditengah penduduk yang sangat miskin dan sederhana.
Pikiran inilah yang mengusik dalam benak saya, ketika melihat gedung college, sekolahan dan gereja yang ada dikomplek itu. Terbesit pikiran nakal, apa bedanya para imam itu dengan para bisnis yang mengelola sekolahan sebagai asset penghasilan. Bukankan tidak perlu menjadi religious untuk mengelola sekolahan seperti itu. Kesan ini menjadi kuat, kita keramahan dan sambutan tangan tidak pernah saya alami, walaupun selama tiga hari saya menginap di rumah khusus yang disedikan bagi para tamu.
Di tempat ini saya menginap untuk dua hari. Dan selama dua hari ini kami bertemu dengan calon-calon dari Tamil Nadu. Saya sungguh merasa beruntung, karena keluarga frater sangat ramah. Saya juga merasakan suasana kekeluargaan yang akrab. Inilah seminari dasar yang dibutuhkan bagi para calon imam. Dan inilah tujuan saya mengunjungi keluarga para seminari, untuk mengetahui bagaimana suasana dan kehidupan para frater kami berasal. Kami menyadari betapa penting dalam pendampingan formation kita dilengkapi pula dengan pengetahuan dari mana para calon kami itu berasal. Ini penting, karena proses formatio adalah proses bagaimana kita mendampingi calon imam ini untuk menjadi dirinya sendiri dalam semangat atau spiritualitas kongregasi di mana mereka bergabung. Beruntunglah kami, bahwa mempunyai calon anggota dari keluarga ini. Fraternya cukup sangat baik, pinter dan keluarganya pun keluarga katolik yang sungguh 'devoted'. Memang mereka bukan keluarga yang kaya, keluarga sederhana yang untuk mendapatkan makanan sehari-hari pun harus bekerja keras sebagai pembantu rumah tangga di komplek besar milik para romo itu.
Selain itu bahwa saya juga boleh ikut bergabung dalam perayaan pesta paroki bersama dengan uskup Vellure, yang juga memberikan komuni pertama kepada anak-anak dari paroki ini. Adik kandung frater itu kebetulan juga menerima komuni pertama. Dan bagi kebanyakaan orang Katolik India, penerima komuni pertama sungguh merupakan pesta keluarga. Dirayakan dengan cukup istimewa, baik di Gereja maupun dirumah mereka masing-masing. Paling tidak semua anggota keluarga berkumpul untuk peristiwa ini.
Dua calon kami peroleh dari tempat ini. Saya cukup heran, mengapa mereka ingin bergabung ke kongrasi kami, sementara di situ ada kongregasi besar yang sudah mempunyai nama. Satu dari mereka adalah anak dari karyawan pastoran itu. Jawaban dari pertanyaan ini sangat mengejutkan saya. Mereka mengatakan bahwa bagi mereka tidak akan pernah ada kesempatan untuk bisa menjadi anggota dari konggregasi itu. Memang tidak ada peraturan tertulis, tetapi dari kenyataan dan rumor yang beredar, sangat sulit untuk bisa diterima dikonggregasi itu. Syaratnya terlalu berat bagi keluarga miskin seperti mereka. Mereka tidak akan menerima calon dari keluarga miskin, dari kasta rendah, tidak mempunyai penampilan tubuh yang menarik dan nilai sekolah yang sangat memuaskan. Duh Gusti......berat tuntuntannya. Maka tidak mengherakan ketika saya berada di Pudur, romo paroki yang masih mudah itu bertanya kepada saya, "Romo mau calon yang macam apa? "Hanya yang pinter-pinter, dari keluarga katolik tradisionil, kasta tinggi dan keluarga cukup?". Saya menjawab dalam kekagetan saya "saya ingin calon seminari yang baik, titik!! Saya tidak peduli apakah mereka dari kasta rendah, dari keluarga miskin atau dari keluarga katolik baru. Yang saya perdulikan adalah bahwa mereka 'anak baik dan beriman, mempunyai niat dan motivasi yang kuat untuk menjadi imam".
Akhirnya pada tanggal 27 malam, sekitar jam 11.30 kami balik lagi ke Kerala. Perjalanan panjang yang sangat melelahkan namun sangat menggembirakan. Tuhan sungguh memberikan berkah melimpah bagi perjalanan kami ini.

No comments: